Lapangan rumput di tepi kali besar yang mengering menjadi tempat kebersamaan mereka, tak jauh di depan keduanya, belasan anak sibuk menggambar di atas kertas, ada yang menggambar dengan berdiri, duduk, bahkan tengkurap di tanah.
Tak jarang, beberapa kali deru kereta terdengar, tanpa membuat mereka terganggu, seakan sudah terbiasa. Di sini, di sebuah tempat yang dianggap orang-orang sebagai tempat kurang beruntung, nyatanya mampu menggambarkan kebersamaan secara sempurna.
Dimana anak-anak berlari dengan tertawa, berebut pensil warna sampai tersandung. Tawa terdengar samar dari tempat yang dipandang menyakitkan.
Hanum mengusap pelan rambut halus Nana, wangi strawberry samar-samar tercium, padahal gadis itu tahu seberapa bencinya laki-laki yang kini menumpukan kepalanya di pangkuannya terhadap strawberry.
Kalau ditanya kenapa ada orang yang sebegitunya membenci strawberry tapi malah memakai shampo varian strawberry, maka Hanumlah alasannya. Gadis itu yang mampu membuat Nandra berubah, padahal dirinya tidak meminta dia berubah. Tidak pernah sekalipun.
"Kenapa?"
Mata Nandra memejam, tapi tidak dengan pikirannya, Hanum memandangi wajah rupawan kekasihnya, ada banyak hal yang harus ia sampaikan, tapi semuanya terbendung di tenggorokan, tidak mau keluar.
"Mau kuceritakan sebuah dongeng?"
"Boleh."
Ada satu dongeng yang paling Hanum ingat, dongeng yang bukan diceritakan oleh ibunya sebelum tidur, dongeng ini adalah dongeng yang ia baca sendiri, ketika dia berumur dua belas tahun di perpustakaan balai desa.
"Di sebuah laut, hidup putri duyung kecil, putri dari Raja laut, dia punya enam saudara, yang masing-masing berbeda satu tahun, nenek mereka bilang, kalau sudah lima belas tahun, mereka bisa berenang ke atas permukaan, melihat bagaimana dunia luar."
Hanum memberi jeda, mata Nandra masih tertutup, tapi tidak telinganya, karena dia mengangguk-anggukan kepala ketika Hanum bercerita.
"Setiap tahun, Putri duyung kecil mendengar cerita kakak-kakaknya, sangat antusias membayangkan daratan. Sampai akhirnya tiba, giliran dia pergi ke atas."
"Kebetulan, waktu itu ada pangeran tampan yang sedang berlayar, terjadi badai di hari putri duyung kecil berenang ke atas. Kapal sang pangeran tenggelam, tentu saja, putri duyung kecil membantunya, membawanya ke pantai di samping sebuah kuil, dia belum pergi, sampai ada seorang perempuan yang datang, putri duyung kecil baru pergi."
Nandra membuka matanya, tepat ketika bola mata Hanum memandangnya, Hanum tersenyum, begitu juga Nandra, Nandra dengan senyuman tulus yang mampu membuat Hanum nyaman.
"Terus? Putri duyungnya jadi manusia? Mereka menikah dan hidup bahagia?" Tanya Nandra.
"Andai gitu, aku ngga bakal nangis pas pertama baca."
"Emangnya habis itu gimana? Coba lanjutin."
Kali ini Nandra tidak menutup matanya, antusias menunggu Hanum bercerita.
"Sang putri duyung kecil membuat perjanjian dengan penyihir laut, dia meminta kaki manusia, dan penyihir laut meminta suaranya sebagai bayaran. Tapi kalau sang putri duyung tidak dicintai waktu berubah menjadi manusia, dia akan berubah menjadi buih. Setiap langkah yang dia rasakan juga sama seperti berjalan di atas pisau."
"Dia mengorbankan banyak hal," komentar Nandra singkat.
Hanum mengangguk, "habis itu dia ke daratan, singkatnya, mereka bertemu, tapi ayah sang pangeran tampan sudah menjodohkan pangeran dengan putri yang dulu menolongnya di samping kuil setelah tenggelam."
Hanum mendongak ke atas, melihat arakan awan dan beberapa bintang yang terlihat bersinar. Ketika Hanum sibuk dengan pemandangan malam, Nandra punya pemandangannya sendiri, wajah jelita Hanum.
"Pangeran tampan tertarik dengan putri duyung kecil, tapi dia berakhir menikah dengan sang putri yang menolongnya. Putri duyung kecil sakit hati, umur putri duyung kecil sudah tidak lama lagi karena tidak dicintai, lalu ke enam saudarinya datang, memberinya sebuah pisau, putri duyung kecil bisa menyelamatkan hidupnya kalau dia menusuk pangeran tampan dan meneteskan darahnya di kakinya."
"Terus? Pangerannya dibunuh?"
"Nggak, putri duyung kecil memilih mengorbankan dirinya sendiri, dia menghilang menjadi buih, sebelum merasakan rasanya dicintai. Dan ceritanya selesai."
Hening, setelah kata selesai dari kalimat Hanum, mereka berdua sama-sama diam. Saling menatap satu sama lain, menyelam sedalam-dalamnya dalam tatapan mereka. Sama-sama memikirkan isi pikiran sendiri-sendiri.
Ada banyak dongeng di bumi, tapi kenapa Hanum memilih menceritakan cerita berakhir sedih pada Nandra? Ada banyak dongeng dengan akhir "mereka berdua hidup bahagia selama-lamanya." Tapi kenapa harus kehilangan yang harus dia ceritakan?
Beberapa saat kemudian, Hanum memanggil Nandra.
"Nana?"
"Hmm?"
"Kalau akhir cerita kita sama kaya dongeng yang aku ceritakan, bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Paras
Novela JuvenilAku tidak sedang melukis kanvas, melainkan paras, untuk dicintai kamu, dan untuk mencintai kamu. Judul awal: Butterf(lie)