Kali ini pagi datang dengan cepat, walaupun laki-laki itu baru tidur jam tiga dini hari, tapi di jam tujuh pagi ia sudah berada di kamar di mana Hanum di rawat. Di sana juga sudah tersedia dua mangkuk bubur ayam yang diberikan oleh perawat lima menit yang lalu.
Kemarin malam dunia Nandra hampir saja hancur, bukan hanya dunia, tapi juga dirinya sendiri. Nandra dan dunianya- dalam hal ini Hanum, hampir saja menghilang dari peradaban dan terlupakan untuk selamanya. Tapi untungnya, semesta tidak sejahat itu.
Nandra sedang sibuk memilih kacang yang ada di mangkuk bubur ayam milik Hanum, ia lupa menambahkan catatan kepada warung makan yang ia pesan di aplikasi untuk tidak diberi kacang, karena Hanum tidak suka kacang. Dengan teliti laki-laki itu memilih satu-persatu kacang yang ada lalu menyisihkannya, dengan sangat sabar.
Hanum tersenyum melihat wajah serius Nandra, tiba-tiba saja kepalanya pusing bukan main, pandangannya kabur, dengan gerak lemah ia memegang kepalanya yang dililit perban, Nandra masih belum sadar dengan apa yang terjadi pada Hanum, tangan kanan Hanum segera meraih tangan Nandra yang masih saja sibuk, menggenggamnya erat. Setelah gerakannya, Nandra baru sadar kalau ada yang salah dengan Hanum.
“Kepala kamu sakit? Perlu aku panggilin dokter?”
Di saat Nandra bersiap-siap untuk berteriak, Hanum menggelengkan kepalanya.
“Sebentar.”
Nandra memperhatikan Hanum yang terlihat sangat kesakitan, dan di saat ini, ia akan meminta pada Tuhan atau siapa pun yang sekiranya bisa mewujudkan keinginannya, ia ingin rasa sakit yang sekarang sedang dimiliki Hanum untuk diberikan kepadanya saja, biar ia saja yang sakit, biar ia saja yang menderita.
Dengan hati dan perasaan yang kini sedang penuh dengan rasa sedih, Nandra menarik Hanum dalam pelukannya, mencoba memberikan kenyamanan senyaman mungkin. Hanum yang sedang berada di pelukan Nandra, mencoba menahan sakit kepalanya yang sudah tidak karuan. Tanpa sadar, hujan turun dari kedua manik Nandra, tadinya hanya gerimis, tapi semakin lama hujannya semakin deras, bahkan tubuhnya bergetar, Hanum sampai merasakan getaran itu.
Hanum melepaskan pelukan keduanya, dan benar saja, pipi Nandra sudah penuh dengan jejak air mata, dan masih terus mengalir. Meski sakit di kepalanya belum mereda, Hanum tertawa, “aku yang sakit, masa kamu yang nangis?”
Kalau Nandra punya kekuatan magis yang bisa mengambil rasa sakit, maka dengan senang hati ia akan mengambil semua rasa sakit yang Hanum punya.“Aku juga sakit.”
Hanum memperlihatkan raut wajah khawatirnya, “kamu sakit? Yang mana? Perlu aku panggilin dokter atau perawat?”
Nandra menggeleng.“Karena ini sakit,” Nandra menunjuk punggung tangan Hanum, lalu beralih meletakkan tangannya di dadanya sendiri, “ini juga ikutan sakit.”
Hanum tersenyum, “sakit banget ya?”
Nandra mengangguk, air matanya tidak turun sederas tadi, tapi masih ada jejak basah di kedua pipinya, “iya, sakit banget.”
Hanum menghapus jejak air mata di pipi Nandra dengan kedua telapak tangannya, “apa yang harus aku lakuin biar kamu merasa lebih baik?”Nandra diam dan tidak menjawab, “mau aku transfer?”
“Apanya?”
“Sakitnya.”
“Gimana?” Lalu dengan gerak cepat, Hanum mencubit keras punggung tangan Nandra, sampai si pemilik tangan mengaduh, sampai terlihat bekas merah di punggung tangan Nandra.
Nandra memperhatikan Hanum bingung, setelah mencubit tangan Nandra, lalu gadis itu dengan segera mengusap dan meniup punggung tangan Nandra pelan. “Nah, kan udah aku transfer, jadi punyaku sudah sembuh, dan punyamu juga harus sembuh.”
Meski masih bingung, Nandra menganggukkan kepala. Lalu tiba-tiba saja pintu dibuka dengan keras, berhasil membuat keduanya menatap ke arah pintu, melihat siapa gerangan orang yang tidak sopan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Paras
Teen FictionAku tidak sedang melukis kanvas, melainkan paras, untuk dicintai kamu, dan untuk mencintai kamu. Judul awal: Butterf(lie)