Hari Selasa jam sembilan kurang dua puluh lima menit pagi, bukannya berada di dalam kelas, Nandra justru duduk manis di atas motor di depan rumah Hanum. Dia tidak menelpon penghuni rumah, dia hanya duduk diam sambil memperhatikan sekitar. Alasannya sederhana, dia akan mengantar Hanum bekerja, karena kemarin Hanum terluka dengan alasan jatuh ketika naik ojek, dia tidak ingin Hanum terluka lagi dengan alasan yang sama. Ah, sepertinya memang benar cinta bisa jadi alasan paling klise untuk melakukan banyak hal untuk orang yang dicinta, Nandra buktinya.
Pintu berderit, lalu Hanum keluar dengan pakaian sederhana khas Hanum. Melihat Nandra yang memakai seragam sekolah duduk di atas motornya, Hanum terkejut bukan main. Perempuan itu segera mendekat.
"Nana, ngapain di sini? Harusnya kamu sekolah kan?" Tanyanya begitu sampai di depan Nandra, wajahnya segar, hanya ada polesan lipbalm yang membuat bibir kecilnya terlihat mengkilap terkena sinar matahari.
"Mau anter kamu kerja," Nandra berdiri dari duduknya, menyerahkan helm untuk Hanum, yang tidak langsung di sambut oleh perempuan dengan rambut yang dikuncir tinggi itu.
"Aku bisa naik ojek, bus, angkot, banyak kendaraan Nana," Hanum membiarkan uluran Nandra menggantung di udara, mulai mendebat.
"Terus kamu terluka? Aku ngga mau."
"Aku ngga akan terluka lagi, kemarin kan cuma lagi apes."
"Hanum, aku cuma ngga mau kamu terluka."
Hanum menatap Nandra dalam, "dan aku ngga mau jadi alasan kamu ninggalin kewajiban."
"Cuma sebentar, habis ini aku balik," Nandra dan keras kepalanya memang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dengan Hanum, keras kepala laki-laki itu masih saja keluar.
"Banyak yang ga bisa sekolah sekalipun mereka berjuang mati-matian, harusnya kamu bersyukur bisa sekolah Na."
"Aku balik lagi Hanum."
"Kamu bisa di hukum."
"Aku ijin ke toilet tadi."
"Terus balik satu jam kemudian? Ngapain aja di toilet?"
"Aku ngga akan di hukum."
Hanum menghela nafas lelah, berdebat dengan orang keras kepala seperti Nandra tidak akan selesai. Hanum memijat kepalanya pelan.
"Kamu mau telat?" Tanya Nandra, perdebatan mereka tidak menggunakan suara tinggi, mereka berbalas kalimat dengan tenang.
Akhirnya, Hanum mengalah, sebenarnya bisa saja Hanum meladeni keras kepala Nandra. Dia bisa pergi dan berangkat sendirian meninggalkan Nandra, bersikap kekanakan, tapi Hanum tidak melakukannya. Itu pilihan yang salah, layaknya api yang di lawan oleh api, bukannya padam, malah justru membesar. Jadi solusinya adalah, menghadapi Nandra yang selayaknya api, Hanum harus mau berubah menjadi air.
Di perjalanan, sebanyak apapun Nandra mencoba mengajak bicara. Hanum hanya menjawabnya dengan, "Aku lagi marah."
Nandra tidak memaksa Hanum menjawab kalimatnya, dia terus saja berbicara ngalor ngidul, tentang ibu-ibu yang belok kiri tapi menghidupkan lampu ritting ke kanan. Tentang anak-anak berseragam yang melewati anak-anak yang tidak bisa berangkat sekolah, tentang cuaca Jakarta yang sedang cerah, tapi sebanyak apapun Nandra bicara, Hanum tetap diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Paras
Fiksi RemajaAku tidak sedang melukis kanvas, melainkan paras, untuk dicintai kamu, dan untuk mencintai kamu. Judul awal: Butterf(lie)