BLARRR!
Malam ini, hujan terus membasahi bumi dengan derasnya sedari tadi sore. Tama dan Roan yang pergi untuk mengurus kerjaan Aldi pun belum kembali ke rumah, padahal makan malam sudah disediakan sedaritadi.
"Ian gak masuk kamar? Disini dingin loh" ujar Annisa yang memberi Ian secangkir teh hangat.
"Ian gak bisa tidur" jawab Ian masih melamun menatap lukisan yang terpampang di dinding.
"Jangan lama-lama ya, nanti masuk angin"
"Oke"
Annisa melangkah pergi masuk ke dalam kamar khusus pembantu dan Ian sendirian lagi di ruang tengah dengan mata masih terpaku pada lukisan, ditemani secangkir teh hangat yang tadi dibuat Annisa.
Ini sudah hari ke 4 Aldi sakit demam dan masih beristirahat di dalam kamarnya yang tanpa AC.
Dengan langkah kaki lunglai, Ian memilih untuk masuk ke dalam kamarnya setelah menghabiskan tehnya.
Brak!
Suara yang begitu besar terdengar dari arah kamar Aldi. Tanpa pikir panjang, Ian asal masuk begitu saja tanpa permisi.
"Aldi Hyung??" lirihnya khawatir mengganggu Aldi.
"Uhhhg Ian" suara lenguh Aldi yang sudah tergeletak di dekat kasurnya.
"Aldi Hyung?!" terlanjur kaget, Ian tak sengaja menaikkan nadanya dengan tinggi.
"Ian...sakit, hyung gak kuat lagi buat tahan sakitnya" rintih Aldi yang tubuhnya diangkat paksa oleh Ian.
"Hyung jangan bercanda, sekarang cepet bangun. Naik ke kasur"
"Uhuk uhuk!"
Beberapa tetes darah merah pekat melesat keluar dari mulut Aldi.
"D-darah!" kejut Ian melihat darah juga masih mencoba melesat keluar dari bibir Aldi
"Hyung gak kuat lagi, Ian"
"Hyung jangan bercanda, jangan buat Ian khawatir!"
"Mungkin ini akhir dari hidup hyung yang penuh dosa" ucap Aldi penuh sendu dan mengusap-usap lembut pipi Ian yang menunduk kearahnya.
"Annisa Nu-"
Tangan Aldi yang ternodai bercak darah membekap paksa mulut Ian saat hendak berteriak memanggil Annisa.
"Jangan panggil siapa-siapa, cukup Ian aja disini tunggu sampai nyawa hyung diambil" jawabnya.
BLARRRR!!
Seperti drama sinetron di televisi, suara petir tiba-tiba menyambar sesaat Aldi selesai mengucapkan kalimatnya tadi.
Ian tidak tau harus apa, bingung, sedih dan takut bercampur menjadi satu.
"Ian?" panggil Aldi dengan suara beratnya.
"Hiks iya hyung?" tanpa sadar, Ian sudah menangis menatap kearah Aldi yang terlihat sekarat.
"Ian sayang Aldi Hyung gak?"
"Iya, iya, iya Ian sayang Aldi Hyung"
Mendengar jawaban Ian yang sungguh-sungguh, bibir pucat Aldi membuat senyuman kecil.
"Hyung boleh minta satu permintaan?"
"Boleh"
"Cium" pintanya.
Karena ini permintaan terakhir Aldi, Ian menanggapinya serius dan mencium lembut bibir Aldi dengan air mata melesat di pipinya.
Tangan Aldi yang masih ada bercak darah pun mulai menarik tengkuk kepala Ian, memperdalam ciumannya yang tak akan dia sia-siakan seumur hidup.
Senyuman mengembang lebar di bibir Aldi menghentikan tautan binir antaranya.
"Hihihi kena tipu deh" ucapnya dengan sangat enteng pada Ian.
Wajah yang tadi terlihat sangat sedih berubah 100 derajat menjadi marah juga malu. Air mata yang masih tersisa langsung di hapusnya secepat mungkin.
"Aldi Hyung!! Bercandanya jelek! Ian gak suka!"
Plak!
Satu tamparan mengenai pipi Aldi, bekas merah berbentuk telapak tangan Ian tertinggal disana. Emosi Ian meluap seketika, tangannya tak henti memukul wajah atau pun dada Aldi.
"Aduh aduh hahaha Ian sampai nangis, beneran nurutin yang hyung minta" bahkan pukulan yang Ian berikan malah mengundang gelak tawa Aldi karena wajah Ian kita mulai memerah.
"Bodo ah, Ian mau pergi tidur"
"Jangan ngambek ya Ian, nanti hyung makin suka"
"Gak mau tau, pokoknya Ian marah ke Aldi Hyung!"
Ian terus menghentak-hentakkan kakinya di lantai dan menutup pintu kamar dengan emosi hingga berbunyi sangat keras.
Dimata Aldi, Ian tidak terlihat mengerikan ketika marah, malah lebih mirip seperti seekor kelinci kecil yang sedang marah karena tidak diberi wortel.
Brak!
"Khihihi puas gue jailin Ian"
"Tapi tadi kenapa gue gak kepikiran minta kulum aja ya? Haih...bego" rutuknya pada diri sendiri, tidak memikirkan ide itu sebelumya.
Hujan diluar terdengar sudah mereda dan suara kodok bahkan jangkrik saling saut menyaut. Aroma tanah yang khas ditambah udara sejuk akan membuat siapa saja merasakan nyaman.
Mungkin beberapa saat lagi Tama dan Roan akan pulang ke rumah, Aldi bangkit berdiri dari posisinya beranjak keluar membuat secangkir kopi untuk diminumnya di dalam kamar.
15 menit sebelum Ian masuk kamar Aldi.
Aldi pov
Gue khawatir ada apa-apa sama mereka berdua, Tama juga Roan. Sampai jam 9 malem masih belum pulang, ditambah hujan lebat, tapi itu tidak selebat bulu jembut gue.
Badan gue udah terasa lebih baik dari hari-hari sebelumnya, lumayanlah bisa keluar kamar, sekalian mau minum kopi biar badan hanget.
Di kamar rasanya gue dikurung terus kaya Rapunzel.
Selagi gak ada Tama, gue keluar aja dari kamar.
Ian?
Gue liat lagi duduk sendirian, fokus liatin lukisan bergambar merak lagi kawin. Walau gambarnya nyeleneh, tapi harganya buat lu pada bakal kejang-kejang.
Niat buat turun, bikin kopi, baca majalah dewasa, itu semua gue urungin. Pikiran nakal gue mulai berjalan setelah liat Ian yang mulai beranjak dari duduknya, jadi perkiraan gue setelah ini Ian bakal ke kamarnya.
Cepet-cepet gue masuk kamar, olesin bedak di bibir biar keliatan pucet dikit. Tinggal tunggu Ian lewat dan gue mulai aksinya.
Brak!
Badan gue bener-bener jatuh dari kasur biar suaranya bisa narik perhatian Ian, jujur itu sakit banget. Sampai buat gue meringis.
Sesuai perkiraan, Ian masuk ke kamar tapi di awal dia gak khawatir sama sekali. Parah nih anak gak perhatian sama sekali.
Biar lebih dramatis lagi dengan paksa gue gigit bibir bagian dalem sampai berdarah. Gak peduli ini sakit atau gak yang penting gue harus dapet simpati dari Ian.
"D-darah!" mukanya itu imut-imut syok, bikin gue makin cintah matih sama Ian. Strategi gue berhasil tapi darah di bibir masih terus ngalir terus. Bisa bener-bener kehabisan darah nih gue.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] 3 Top 1 Bottom [SlowUpdate]
RandomPROSES REVISI Tiga orang tertarik pada seorang namja manis yang bekerja menjadi pembantu di rumah mereka?