Setelah Ray berangkat pergi, rumah terasa agak sepi. Tak ada lagi suara ribut antara Ray dengan Ian."Nak, eomma kemaren malem telepon temannya eomma yang ada di kota C. Mungkin dia bisa bantu kamu. Eomma yakin kamu bisa lebih cepat dapat pekerjaan kalau disana" ujar eomma memecah keheningan yang sedari tadi Ian dan eomma hanya duduk santai di teras rumah.
"Hmm iya eomma. Kira-kira kapan Ian bakal kesana?"
"Eomma udah janji ke dia kalau lusa kamu berangkat kesana" eomma mengelus dengan lembut rambut Ian.
"Kalau gitu Ian mau ke kamar dulu mau beres-beres barang" Ian bangkit berdiri dari posisi duduk dan pergi ke kamarnya.
Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru saja kemarin eomma dan Ian duduk berbincang di teras, sekarang sudah waktunya saja Ian untuk pergi.
Jam 04.55 pagi di stasiun
"Ian sayang eomma" Ian memeluk tubuh eomma dengan sangat erat hingga buliran bening dari matanya pun berhasil keluar.
"Eomma juga sayang Ian"
"Ian denger ucapan eomma. Disana kamu sekalian tinggal di rumahnya. Jadi, kamu harus nurut sama omongannya" eomma mengusap sudut mata Ian yang basah karena air mata.
"Ian tinggal disana? Terus eomma gimana?" Ian memandang wajah eommanya yang cantik dengan beberapa garis kerutan halus.
"Jangan khawatirin eomma, nak" eomma memegang pipi Ian dengan kedua telapak tangannya dengan lembut.
"Tapi eom..."
"Diharap kepada seluruh penumpang Jayana Ekspres 001 jurusan kota A-C segera menaiki gerbongnya, karena kereta akan segera berangkat ketempat tujuan" suara pemberitahuan bahwa kereta akan segera berangkat.
"Eomma gak apa-apa sayang. Sekarang kamu naik ya, kereta udah mau berangkat tuh" ujar eomma menyentuh ujung hidung Ian dengan menggunakan jari telunjuknya.
Ian menjawab dengan anggukan kecil seperti anak kecil berumur 5 tahun.
.
.
.
.
."Ian!" seseorang memanggil namanya dan membawa papan besar bertuliskan 'IAN'.
Kaki Ian langsung berlari kecil ke arah sana "Ahjumma! Ini Ian, anaknya Ruri Eomma" ucap Ian.
Beberapa menit teman eommanya itu memandangi foto di ponselnya dan Ian secara bergantian.
"Sini pegang tangan ahjumma, ahjumma gak mau kamu hilang disini" seketika ia menunjukkan deret giginya yang rapi dan bersih. Senyumnya pun persis seperti ibunya.
"Ehmmm" Ian mengganggukkan kepalanya sebagai jawaban 'iya'.
"Sebelum pulang, kita cari makan dulu" ujarnya sambil memperhatikan setiap jalan diantara kerumunan orang yang lalu lalang.
"Makasih ahjumma tapi Ian gak laper. Ian mau langsung istirahat aja" senyum Ian mengembang seketika.
Afarazka
Umur 19 tahun"Ian! Nih tangkep bolanya" teriak Afar seorang namja muda yang umurnya lebih tua 4 tahun dari Ian.
"Yahh" Ian tak dapat menangkap lemparan bola dari Afar yang terlampau tinggi.
"Afar Hyung lemparnya yang bener dong. Kan nyasar ke rumah sebelah. Afar hyung ambil sana, hyung yang lempar sampai sana!" namun Afar sudah kabur terlebih dahulu masuk ke dalam rumah.
"Sial!" dengan langkah kecilnya, Ian masih ragu ragu untuk masuk kedalam rumah tersebut.
"Wih, rumahnya gede banget ya. Ada orangnya gak sih? Halamannya juga berantakan, kayak gak pernah di sapu. Jangan jangan ada hantunya lagi hiiiih" batin Ian terus saja memikirkan hal tentang rumah tersebut.
Dengan berani, Ian melangkah masuk ke halaman rumah tersebut dengan melewati pintu pagar besar yang terbuka.
"Dimana ya bolanya" Ian melayangkan pandangannya ke setiap sudut halaman rumah tersebut.
"Ketemu"
Crang!
"Ada orangnya?" Ian mengintip bagian dalam rumah tersebut melalui jendela.
Ternyata isi dari rumah tersebut sangat rapih dan bersih, setiap barang di sana terbungkus dengan kain putih dan plastik.
Tanpa permisi lagi, Ian manerobos masuk ke dalam seperti rumahnya sendiri.
"Keren, rumah ahjumma sebelahan sama rumah segede ini" Ian terus berpetualang di dalam rumah mewah tersebut, sampai pada akhirnya Ian melihat satu buah kanvas besar yang masih bersih dan peralatan melukis yang lengkap.
"Gambar apa ya bagusnya" Ian berkacak pinggang sembari terus melihat kanvas kosong di depannya.
.
.
.
.
.
"Sedikit lagi...""Hoi!" suara berat dari seorang namja yang berdiri di belakang membuat Ian kaget dan tak sengaja mencoret lukisannya.
"Yahhhh!" wajah Ian sangat kesal melihat hasil lukisan yang tercoret, sampai melupakan namja di belakangnya.
"Kok yah? Emang lu siapa hah?!" namja tersebut menaikan nada bicaranya pada Ian.
"Anu...maaf" Ian sangat khawatir sekarang karena namja tersebut terus melihatnya dengan tatapan tajam.
"Cium gue kalau mau dimaafin" mendengar ucapannya, wajah Ian sangat terkejut ditambah rasa gugup. Apalagi jari telunjuknya mengarah ke arah bibir.
"Cium disitu? Big no" Ian malah menentang keinginan namja tersebut.
"Kalau gak mau, bayar ganti ruginya aja. Semuanya 10 juta" gaya angkuh namja itu mulai di ditujukan pada Ian.
"Begitu aja 10 juta" Ian yang mulai jengkel langsung mengambil bolanya dan melesat pergi melewati namja itu.
"Lu belum ganti rugi ke gue jadi gak boleh keluar" tiba-tiba saja tangan Ian langsung di genggam erat.
"Lepas gak? Atau Ian patahin tulang lu nih"
Tak ada cara lain untuk bisa lepas dari selain menghajar titik lemah namja tersebut dengan pukulan.
Yang semula Tama menggenggam erat tangan Ian, kini melonggar. Sehingga Ian dapat melarikan diri dengan mudah.
"Ah menarik...gue bakal dapetin lu segera" ucapnya tersenyum smirk sambil mengelus-elus bagian bawahnya yang dihajar Ian.
"Hosh hosh hadehh" Ian terus mengambil napas karena kelelahan berlari.
"Dari mana aja, kayak orang habis dikejar kejar anjing" ucap Afar yang sudah ada di depan pintu rumah.
Ian mengacuhkan ucapan Afar dan langsung masuk ke dalam rumah mencari air minum tanpa mempedulikan Afar lagi.
"Far Tolong beliin eomma roti, selai sama mentega di market ujung jalan ya?" ujar eomma Afar yang sedang membersihkan meja makan yang kotor.
Afar yang tadi sedang bermain game langsung menghentikan permainannya dan mulai mendekat pada eommanya.
"Uangnya?" telapak tangan Afar mengulur untuk meminta uang membeli bahan bahan tadi.
"Ini. Sekalian ajak Ian juga ya, kayaknya dia jenuh dirumah terus" memang benar, Ian hanya duduk sambil menonton acara tv biasanya.
.
.
.
.
.Jalanan dimalam hari memang sangat mencekam walaupun sudah di fasilitasi lampu jalan tapi tetap saja menyeramkan bagi Afar.
Berbeda dengan Ian, pandangannya terus kedepan dan baginya tak ada yang perlu ditakutkan.
"Hoi!" terdengar suara yang tak asing lagi bagi Ian dan ya...benar dugaan Ian, namja yang tadi siang ia temui.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] 3 Top 1 Bottom [SlowUpdate]
RandomPROSES REVISI Tiga orang tertarik pada seorang namja manis yang bekerja menjadi pembantu di rumah mereka?