Selamat membaca...
Marvin bangun sembari memegang kepalanya yang terasa berat. Ia menatap sekeliling melihat kamar yang begitu asing.
Saat akan beranjak, ia menyadari bahwasannya kedua kakinya di ikat di kedua sisi ranjang. Tempat tidurnya berukuran kecil, jadi hal tersebut tak membuat kedua kakinya merasa sakit.
Suara langkah terdengar dari luar. Marvin tetap pada posisinya, namun ia menatap lurus pada pintu seakan sudah menunggu dari lama.
Pintu terbuka, menampilkan Vale dengan baju santainya. Ia mendekat ke arah Marvin yang menatapnya bosan.
"Apa seperti ini wajah yang kau tampilkan saat di culik oleh seseorang," Vale terkekeh pelan melihat pemuda tanggung di hadapannya.
Ah jujur saja pemuda di hadapannya ini 2 tahun lebih tua darinya.
Marvin tetap tak menjawab. Ia hanya mendengus kesal melihat wajah menyebalkan milik pemuda yang ia ketahui lebih muda darinya.
Bagaimana Marvin bisa tahu? Dia sudah mengetahui dan membaca semua musuh, kerabat, maupun saingan Valdo. Termasuk salah satu pemuda Albion di hadapannya.
Marvin mengerti jika dirinya sedang di culik. Tapi tidak sedikitpun rasa takut ada dalam dirinya. Ia bahkan merasa tertantang, dan yang paling utama dirinya sangat ingin melihat wajah panik milik daddynya. Karena selama ini, hidupnya enak-enak melulu. Sekali-kali ngeliat wajah keluarganya yang memerah.
Ia bahkan tak akan memberontak. Karena Marvin tau keluarga Albion tak akan menyakitinya. Tetapi jika hal itu terjadi, ia cukup membalas mereka dua kali lipat. Bukankah ini rencana yang bagus?
"Dari pada itu, lebih baik kau memberiku makanan. Kau tau? Aku lapar," ujar Marvin dengan sedikit rengekan di nada bicaranya.
Vale terkejut akan hal itu. Kenapa. Marvin sama sekali tidak panik ataupun takut?
"Baiklah akan aku bawakan, setelah itu kau akan ikut denganku. Ku sarankan jangan kabur ataupun memberon-
Vale menghentikan ucapannya saat Marvin mengibas-ngibaskan satu tangannya seolah mengusirnya. Jangan lupakan tatapan malas dengan mulut yang tengah menguap.
Seketika Vale terdiam.
Skip...
"Jadi,dia?" tanya seorang wanita paruh baya kepada Vale.
"Ya..."
Marvin menatap wanita paruh baya itu yang ia kenal sebagai Jemisha Albion. Dia tak mengira akan langsung di bawa ke Mansion milik Saingan terbesar daddy-nya.
Hatinya berdebar-debar. Bukan karena ia mulai takut, tapi membayangkan bagaimana reaksi daddy maupun kakaknya. Ya tuhan ia menantikannya.
Marvin menatap sekeliling. Ia menatap dua pria yang pasti seumuran dengan daddynya. Di sebelah salah satu pria yang menatap ia datar, ada remaja yang melihat kedepan dengan tatapan kosongnya.
Tubuhnya bergerak mendekatinya. Pergerakannya tak luput dari tatapan buas Albion lainnya. Marvin tak merasa gentar, ia malah tetap mendekati nya.
Setelah sampai, Marvin berjongkok untuk melihat langsung wajah remaja itu, wajahnya berhadapan pas dengannya.
Draven maupun Vernon melihat itu dengan dingin. Aura yang mereka keluarkan tak main-main.
Merasakan aura tak nyaman Marvin berdiri dan langsung mengentakkan satu kakinya. Bibirnya mengerucut lucu. "Aku hanya ingin menyapa, kenapa kalian menatapku dengan tatapan seperti itu!" kesalnya.
Mereka semua cengo di tempat. Termasuk remaja yang sudah pasti adalah Zora. Ia menatap Marvin dengan tanda tanya.
"Sudahlah. Vale dimana kamarku!" ia berjalan menuju ke arah Vale dengan kaki yang tetap di hentak-hentakkan.
Vale yang dipanggil pun hanya menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tak gatal.
"Oh sebelum itu siapa namanya?" Marvin berbisik.
"Ah namanya Zora," jawab Vale.
"Oy Zora!" panggilannya.
Zora yang merasa terpanggil mengangkat wajahnya menatap Marvin.
Senang karena ternotice, Marvin kembali ke tempat Zora dengan sedikit berlari. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Zora.
Selesai dengan itu, Marvin mengusak rambut Zora hingga rambut milik remaja itu berantakan.
"Jalani aja..."
Zora menatap Marvin dengan menautkan kedua alisnya tanda tak mengerti. "Takdir Tuhan yang sudah di tuliskan untukmu. Jangan menentang maka kau akan bahagia, yah meski harus dengan sedikit pengorbanan," ujar Marvin kemudian pergi.
Zora tak bergeming mendengar ucapan Marvin. Pandangannya tak berhenti menatap punggung Marvin yang perlahan menjauh.
Air matanya meluruh dengan sendirinya. Draven yang melihat itu memeluk Zora dengan erat.
Zora langsung membalas pelukan itu tak kalah erat. Ia menangis sejadi-jadinya di dada bidang Draven.
"Bungsu Dorofey, apa memang dia seperti itu?" tanya Jemisha yang hanya menyimak dari tadi.
Semuanya hanya terdiam tak menanggapi pertanyaan Jemisha. Yang terdengar hanyalah tangisan luruh seorang Auzora.
🐖🐖🐖🐖
"Hey hey hey, kenapa dia cengeng huh!" gerutu Marvin. Ia sempat terkejut melihat remaja bernama Zora itu menangis teesedu-sedu.
"Tapi dia manis," jawab Vale mendadak. Yang membuat Marvin merotasikan kedua bola matanya.
"Goblok lo!"
"Mendingan belikan gua es krim," suruh Marvin.
"Ha?"
"Lo tuli? Belikan gua es krim!"
"Sadar dirilah. Kau tahanan disini," ujar Vale menatap Marvin tajam. Jika di biarkan pemuda di hadapannya itu akan bersikap kurang ajar.
"Apa kau baru saja menolak perintahku!" Marvin membalas tatapan tajam Vale dengan tatapan tajam khasnya. Ia memiringkan kepalanya dengan aura yang sama sekali tak mengenakkan yang membuat nafas Vale tercekat.
"B-baiklah aku akan membelinya." setelah mengatakan hal itu. Vale pergi dari hadapan Marvin.
Sungguh, ini pertama kalinya ia melihat aura seperti ini. Bukan aura tegas, maupun dingin seperti milik keluarga ataupun seseorang yang ia kenal. Namun aura menyengat bersifat menyeramkan yang akan membuat bulu kuduk merinding.
Vale bahkan penasaran. Bagaimana bisa seseorang bisa mengubah sifatnya secepat itu. Bukankah tadi pemuda itu bersikap manis dan menggemaskan, bahkan saat tidur. Lalu apa ini?
Marvin yang melihat Vale langsung pergi hanya berdecih. Kemudian menabramkan diri ke ranjang empuk yang sudah di sediakan.
Ia akan tidur sebentar.
( ͡° ͜ʖ ͡°)
KAMU SEDANG MEMBACA
Marvin 2 ✔
Teen Fictionbook kedua dari Marvin, jadi yang belum baca silahkan ke book satunya ye biar nyambung. Bahasa campur aduk. keep halal sistah!🦊