Level 19

650 139 50
                                    

Nona Tawanan menghela nafas lega, setelah lehernya tercekat menyusuri lorong elegan kediaman Aberon. Gadis itu sampai pada ruangan utama yang luas dan lapang, furnitur dan hiasan nya hanya sedikit, diantaranya  sofa besar, tidak ada televisi seperti di Bumi, kemudian meja panjang yang menyambung dengan lantai kayu dan tempat duduk yang digantung dekat taman terbuka.

Terlihat sekali bila Pak Panglima jarang beristirahat dan pulang ke rumah nya sendiri Semua barang-barang masih terlihat baru dan hampir tidak ada debu, sudah hampir lima belas tahun Aberon menghabiskan waktu di dunia militer dan politik, kenyataan bahwa pria itu berusia 29 tahun sedikit menampar Jennie, Pak Panglima ternyata pejuang sejak remaja, ketimbang dirinya yang mohon-mohon orang tua.

Well, itu tidak terlalu penting sekarang. Aberon sudah mempersilahkannya duduk di sofa paling tengah, pria itu menjentikkan jari hingga bunyi 'beep!' terdengar kemudian layar transparan muncul dari celah atap, turun perlahan hingga posisinya tepat beberapa jarak di hadapan Nona Tawanan.

Jennie mengangguk, dia berusaha membuat dirinya senyaman mungkin selama Aberon pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan yang dibawakan sang tamu. Tampilan kota Hebendia yang indah dan teratur itu terlihat dalam siaran di layar 'televisi', terlihat super canggih dan kota impian yang selalu dirinya dambakan sewaktu kecil.

Jujur saja, Nona Tawanan sering menggambar gedung-gedung perkantoran di buku coret-coretannya saat Sekolah Dasar hingga menengah pertama. Dan kebiasaan itu tidak hilang hingga dia kuliah semester dua. Tetapi, mungkin semenjak tragedi 'penculikan' dan kembali pulang ke Bumi, Jennie lebih sering mengkhayal dunia sihir ketimbang perkotaan semacam Tomorrowland.

"Kamu mau?" tawar Aberon menyodorkan mangkuk berwarna hitam, makanan yang dimasaknya terlihat indah di wadah tersebut.

Nona Tawanan menggeleng cepat "Aku yang buat, kenapa harus mencobanya?"

Pak Panglima itu mengangkat bahu, dia sibuk mengunyah, tatapannya mengarah kepada layar televisi "Gak apa-apa, memang nya kalau masak kamu gak mencobanya terlebih dulu?"

"Dicoba sih.."

"Nah"

Jennie mengerutkan alis "Ya berarti aku gak perlu makan lagi, itu kan jamuan untuk orang lain.."

Aberon menoleh sejenak, dia mengarahkan sendok nya kepada Jennie, menuding. Sebelum kepala dia yang ditumbuhi rambut hitam yang sedang acak-acakan itu manggut-manggut "Oh, benar juga"

Jennie menelan ludahnya susah payah,  dia memperhatikan lagi setiap detil kota Hebendia yang masih disorot dari langit oleh penyiar berita. Tidak terbayang bahwa kota sebesar dan sekeren itu dipimpin oleh Aberon, Jennie kira Pak Panglima hanya memimpin Pasukan Kavaleri Daschordia.

Nona Tawanan jadi mengingat-ingat Raja. Betapa berkesanggupan beliau mampu menguasai seluruh semesta, sedetik pun tidak terlewat. Lagi-lagi Jennie jadi berpikir, mengapa Dewa sesempurna itu tidak menangkap kode-kode cinta miliknya. Dasar angkuh.

Jennie mendengus pelan, melirik Aberon yang sedang menyeruput kuah, pria itu benar-benar tipikal orang yang tidak memedulikan sekitar sama sekali, menekuk kakinya di sofa, rambut hitam nya yang acak-acakan dan kaus pendek yang amat tidak pantas untuk ukuran Panglima. Biar begitu, Aberon sedang molor pun tampannya tidak berkurang sama sekali. Posisi dia saat ini terlihat keren.

"Kenapa?" tanya Aberon, dia mendongak.

Jennie menggeleng kaku "Apa? Memang aku melakukan apa?"

"Kamu melihat ke sini lama, ada yang salah?" tentu saja kalau Robin Hood KW yang ada di situ akan bertanya 'aku menawan ya?' jelas Jennie akan rela muntah-muntah.

Hey, He's Not Your GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang