Selama Joshua dan Hendra menetap di rumah keluarga itu, beberapa hal di antaranya menjadi bahan renungan dan bermanuver bebas di benak. Sempat pula mengaitkan sebuah kesialan-keberuntungan pada rentetan kejadian yang dialami dan merasa bahwa Tuhan telah memberikan mereka jalan dan petunjuk, meskipun Joshua terkadang abai dalam segala macam situasi.
Dia bertanya-tanya dan membayangkan bagaimana kedua orang tuanya tinggal dan menetap di Jogja berbulan-bulan sebelum mereka berpindah ke Busan. Tentu Joshua tak diberi tahu.
Baru kali ini dia mengetahui hal tersebut dari Budi yang menceritakan segalanya. Dulu Joshua mengira Evans adalah seorang imigran Indonesia yang bekerja di Korea. Kemudian akhirnya menikah dengan Seo Mi, lalu mengubah kewarganegaraan atau memiliki kewarganegaraan ganda, ternyata bukan.
Joshua bahkan tak menyangka sang Ibu pernah menginjakkan kaki di negeri asing, padahal selama ini mereka hanya membincangkan seputar apa yang terjadi di Busan dan sedikit membicarakan seputar Jogja dengan Evans dan pekerjaannya.
Tampak siluet ayam sedang mengumandang kokokan dari atas kandang beratap seng, bertengger gagah dengan latar belakang langit biru donker agak kegelapan
Di saat orang-orang masih terlelap, Joshua dan Hendra lebih dulu terbangun kemudian mengemasi barang-barang dengan maksud hengkang dari menetap selama empat hari.
"Mau saya antar kalian ke tempat kalian kerja? Jaraknya juga lumayan jauh dari sini," tawar Budi yang telah mendapat persetujuan oleh Mbok Susi, ketika dua pemuda itu sudah berada di ambang pintu rumah.
"Nggak usah repot-repot Pak, kami bisa pergi pakai angkutan umum. Terima kasih untuk semuanya Pak ... Nek ...," jawab Joshua disertai anggukan Hendra.
Budi dan Mbok Susi mendekat ke arah mereka, mengucapkan salam perpisahan sebelum mereka beranjak pergi.
"Hati-hati saja di jalan. Kalau ada sesuatu beri tahu pada saya ya?" Budi menepuk pundak Joshua sambil tersenyum.
Lantas Joshua dan Hendra menyalami bergantian penghuni rumah itu, mengangkat telapak tangan kemudian menempel ke kening masing-masing. Sebuah kebiasaan lokal yang telah dipelajari Joshua terhadap ayahnya sewaktu dia duduk di sekolah dasar.
Budiman dan Mbok Susi membalas lambaian tangan Joshua dan Hendra dari kejauhan kemudian akhirnya dua presensi itu menghilang dari pandangan.
Gang sempit yang dilalui terasa begitu sunyi sekaligus gelap, ditambah minimnya penerangan di sudut jalanan. Walaupun kala itu menunjukkan pukul lima subuh, tapi penampakan seperti pada malam hari.
Hendra bergidik ngeri diteror lolongan anjing-anjing ketika melintasi sekitar kompleks perumahan. Joshua berdecak sebal akan diri Hendra yang mudah sekali terpengaruh pada mitos kemunculan hantu di saat anjing melolong yang didengarnya dari mulut ke mulut.
Semilir hawa dingin menerpa tubuh kurus keduanya, sehingga membuat Hendra menggosok-gosok bagian lengan yang disilangkan ke dadanya tapi untuk seukuran Joshua tidak terlalu dingin.
"Hen, kira-kira jam segini ada angkutan lewat?" Joshua memecah keheningan sesaat, dia langsung menoleh ke belakang lantas mengernyitkan dahi. Baru menyadari bahwa Hendra menghentikan langkahnya.
"Hen? Hendra?"
Pemuda berkulit cokelat itu mematung, wajahnya berubah pucat pasi, tubuh yang bergemetaran. Pandangan tertuju pada segerombolan siluet di ujung gang tanpa melirik sedikitpun ke arah Joshua.
"Josh, kita ambil jalan lain ya?" Suara Hendra bergetar berusaha untuk tidak terlihat panik. Pada kenyataan bahwa dia langsung mengambil ancang-ancang untuk berbalik arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
General FictionDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...