Bab 17 - Kecewa

91 31 4
                                    

Terus terang, Joshua merasa muak dan menyesal bila berwisata kembali ke masa lalu dan Dodit betul akan hal satu itu. Merupakan ide yang sangat buruk. Terutama ketika dia tidak mendapat point atas kronologi penting itu. Terasa sukar.

Padahal dia sendiri lah yang terlibat dalam dramanya sendiri. Bagai pelakon yang tidak hafal teks naskah di seluruh adegan penting yang dilakoni.

Joshua perlu wejangan dari seseorang. Entah siapapun itu, tua maupun muda yang mampu memberinya secercah cahaya agar memberi sedikit titik temu terhadap permasalahan yang begitu rancu. Untuk saat ini, yang setidaknya meringankan beban pikirannya.

Namun, itu hanyalah fatamorgana.

Rekaya yang dibuat-buat agar bisa lari dari masalah.

Setiap orang tentu menghadapi masalahnya sendiri bukan? Dan setiap orang tahu bagaimana cara untuk mengatasinya. Tak ada guna mengharapkan orang membantu karena orang-orang belum tentu bisa membantu.

Kini, Joshua merasakannya.

Usai dia bercerita, di antara Hendra, Umar, dan Dodit hanya sanggup menjadi pendengar yang baik. (Walaupun Hendra saat itu kesal terhadap Joshua, dia tetap membuka telinga).

Mereka hanya bisa menyarankan, "Josh, lebih baik kamu berkirim surat kepada ibumu dan menanyakannya apakah ayahmu sudah ada di sana atau belum?"

Serta merta dengan mengatakan, "Ini urusan keluargamu, Josh. Kami enggak berhak untuk mencampuri masalahmu."

Dan sialnya, itu memang benar.

Dia meringkuk dalam selimut, berusaha memejamkan mata. Namun sia-sia. Joshua bertukar posisi, baring ke arah kanan. Merasa tidak nyaman, dia pun beralih ke arah kiri. Percuma saja kalau ujung-ujungnya Joshua tidak bisa terlelap.

Dia meraba-raba bagian atas kepala, berharap ada benda lonjong itu untuk dipeluk. (Padahal di negaranya, tidak pernah ada istilah memakai bantal guling, begitu tiba di Indonesia lain cerita. Malah Joshua semakin terbiasa memakai benda tersebut di sini).

Dia kemudian menjulurkan kepala di bawah kolong ranjang, nihil.

Joshua menoleh ke seberang, rupanya Hendra yang memakainya dengan dua benda lonjong sekaligus.

Joshua mendengus sebal. Kembali terbaring, memandang langit-langit kamar.

Dia harus memenuhi niatnya untuk mencari, (bukan mencari bantal guling untuk dipeluk).

Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota dengan sejuta kenangan. Kota terpelajar. Kota yang kata ayahnya sarat akan makna mendalam.

Joshua terheran-heran, kenapa kota ini begitu istimewa di mata sang ayah. Ada apa dengan kota ini?

Sangat misterius.

Sehingga memaksa Joshua untuk menginjakkan kaki di sini hanya untuk mencari. Hingga ingatan itu kembali merasuki, dimana sang ayah sempat mengajak Joshua ke Jogja untuk pergi bersama sekaligus berpeluang untuk menerbitkan karya pertamanya.

Mungkinkah ada maksud tertentu?

Lalu di sisi lain, dia mengelus dada begitu Marzuki mengatakan bahwa dia berencana untuk memecat Joshua sore nanti.

Entah apalah alasannya, hingga Joshua menyadari visa miliknya hanya sanggup bertahan selama dua puluh satu hari. Yang artinya setelah beberapa hari ke depan, dia harus pulang ke negara asal.

Lagipun memperpanjang visa akan memakan waktu. Kendati demikian Joshua harus segera menemui ayahnya.

Persetan dengan namanya kesepakatan dengan Hendra. Biarlah itu jadi urusannya sementara Joshua dengan urusannya pula. Malah nanti jadi terbebani.

Jendela Joshua (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang