Sesuai ketentuan pihak penerbit Magnet Group, Joshua harus menunggu sekitar tiga bulan ke depan untuk memastikan secara resmi apakah naskahnya diterima atau ditolak.
Mengingat bahwa editor akuisisi hanya menyortir naskah yang masuk, jika kesan awal saja tidak ada ketertarikan. Maka otomatis naskah ditolak. Jika naskah berkemungkinan mendapat peluang, maka akan diteruskan ke tahap selanjutnya dengan pengecekan yang lebih dalam lagi.
Pagi ini, yang bisa Joshua lakukan adalah duduk termenung di depan jendela kamar, menyaksikan dahan pohon-pohon mangga yang bergetar-getar mengikuti arah angin. Dan juga ayam jantan yang tengah sibuk mengais-ngais tanah hingga membentuk lubang kecil.
Di satu titik Joshua teringat momen malam minggu kemarin. Sambil memandang telapak tangan kanannya, dia tersenyum. Hati berdebar-debar. Seakan sensasi kelembutan dan kehangatan itu masih terjejal di sana. Terngiang-ngiang di kepala.
Walau Joshua sedikit kaget atas perlakuan kecil Kartika, entah kenapa rasanya nyaman. Apalagi kata-kata yang Kartika ucapkan malam itu membuat Joshua lebih percaya diri dan semakin optimis.
Ketimbang ayahnya, yang sulit sekali ditemui dari kemarin-kemarin. Waktu mendatangi kantor penerbit Koesno's Publishing, sang resepsionis bilang bahwa jadwal Tirto Koesno sangat padat sehingga menyulitkan Joshua untuk membuat janji temu.
Meski memaksa bertemu di saat senggang dan mengaku anak dari pemimpin redaksi, sang resepsionis malah ngotot dan menyuruh Joshua pulang.
Setelah termangu sepuluh menit di depan jendela, Joshua mengernyit bingung begitu mendapati ada motor bebek terparkir tepat di halaman rumah Budiman. Dan terlihat pula Budiman berada di sana bersama seorang tukang pos, bercakap-cakap sebentar.
Lalu tukang pos itu menyerahkan sebuah amplop kepada Budiman sebelum akhirnya pergi melesat jauh dengan motor bebeknya.
"Joshua!" panggil Budiman. Mengetuk-ngetuk pintu kamar.
Joshua lantas menyahut, beranjak dari atas kasur, bergegas membukakan pintu.
"Ya, Pak?"
Begitu pintu terbuka, pria renta itu langsung menyodorkan sebuah amplop kepada Joshua seraya berkata, "Ini surat untukmu."
Joshua meraih amplop itu sambil mengernyit. "Surat dari siapa, Pak?"
"Dari Lim Seo Mi, ibumu."
"Saya nggak nyangka, Seo Mi masih ingat alamat rumah ini. Padahal sudah lama sekali dia nggak berkunjung," lanjut Budiman sambil terkekeh.
Joshua lantas menjatuhkan rahang, mengecek betul nama dan alamat si pengirim di bagian depan amplop.
Benar saja, di sana tertera nama sang ibu dan alamat rumahnya, Busan, Korea Selatan.
Kalau sampai dikirim surat begini, pikiran Joshua semakin kacau. Paling-paling disuruh pulang atau mungkin menanyakan kabar setelah beberapa hari Joshua tak lagi menelpon sang ibu.
"Terima kasih, Pak Budi." Budiman hanya mengangguk, lalu melenggang pergi. Pintu kamar pun tertutup.
Joshua melompat ke sisi kasur sebelah kanan. Lekas menyobek dari ujung ke ujung kertas amplop, lalu mengeluarkan secarik kertas di dalamnya.
Begitu dilihat sekilas, surat tersebut ternyata ditulis menggunakan huruf hangeul. Jika diartikan kira-kira begini isi suratnya.
Untuk anakku satu-satunya,
Lim JoohwaBagaimana kabarmu di sana? Apa baik-baik saja? Syukurlah jika tidak terjadi apa-apa, Nak. Sudah lama sekali sejak kamu menelpon ibu sampai ibu kesal dan khawatir karena kamu tak mengabari lagi di telepon beberapa hari belakangan. Ibu hampir mengira kamu jatuh sakit atau terjadi sesuatu kepadamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
General FictionDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...