Busan, Februari 2004
Perlahan-lahan angkasa dengan mudah bertugas menumpahkan buliran-buliran kristal menjadi sebuah gumpalan putih lembut sehingga segala penjuru daerah itu bagaikan hamparan permadani putih.
Dan seorang pemuda berpakaian seragam sekolah berbalut jaket sedang berada di sana untuk menyaksikannya.
Dia masih betah duduk di bangku sekitar pekarangan sekolah sambil melihat fenomena alam itu di penghujung masa kelulusan, tak lupa pula mendokumentasikan kedua hal tersebut dalam notebook mungil yang ada di pangkuan.
"Tulisanmu sangat indah, Nak," tegur seorang pria yang sejak tadi berdiri di belakang bangku, menengok Joshua yang tengah menulis.
"Eeh ... Ayah?"
Dia tersentak, hampir saja mencetakkan coretan pada kertas begitu membalikkan wajah ke arah belakang.Pria itu lekas mendekat kemudian duduk di sebelahnya, lalu sekilas melihat rombongan murid laki-laki dan perempuan berkumpul di area lapangan sebelah barat, tampak mulai berpose di depan kamera dengan gaya masing-masing sambil membawa sebuket bunga. Ada pula beberapa murid yang lain sedang asyik bercengkerama bersama kerabat dan orang tua mereka.
"Josh, kenapa kamu nggak mau kumpul bareng temanmu di sana? Kan hari ini adalah hari kelulusanmu?"
Wajah Joshua berubah datar begitu melihat pemandangan tersebut dan memalingkan pandangan, menatap kosong tanah putih di hadapan.
"Di saat teman-temanku sudah memikirkan tujuan dan prospek mereka ke depan. Aku sama sekali nggak tahu harus kemana. Rasanya sedikit mengganggu jika mereka membicarakan soal kuliah dan pekerjaan impian. Sedangkan aku diam saja."
Joshua lantas menutup notebook miliknya sambil menghela napas pelan.
"Menurut Ayah, pantaskah aku melanjutkan jenjang perkuliahan?"
Sang ayah, Evans Chandra, meremas pundak putra semata wayangnya dengan tatapan sendu. "Ayah nggak bisa mengatakan iya atau malah sebaliknya. Karena itu tergantung atas pilihan dan kemauanmu sendiri. Namun bagaimanapun juga ilmu memang harus diprioritaskan, Nak."
Joshua hanya mendesah tanpa ada menanggapi obrolan sehingga menimbulkan keheningan panjang di antara keduanya.
Beberapa saat kemudian Evans berkata. "Tapi ... jika dilihat dari dasar potensialmu, kamu masih ada harapan Josh. Ayah sudah berkali-kali mendapatimu menulis dan membaca semua karangan indahmu itu semenjak kamu berusia sebelas tahun. Mungkin itu bisa dipertimbangkan. Bagaimana menurutmu?"
"Entahlah, kalau di Busan siapa yang mau baca tulisanku ini? Penerbit mana yang bersedia menerima naskahku?" Joshua berkata getir.
"Jangan pesimis gitu, Josh. Padahal kamu belum mencobanya saja. Kalau begitu ikutlah bareng ayah, lusa ke Jogja. Kemungkinan besar naskahmu akan diterima di sana?"
Untuk beberapa detik, Joshua terkekeh.
"Jangankan di sini yah, di sana juga pasti nggak bakal lolos. Katanya harus mencoba dulu?"
Evans turut terkekeh, merangkul pundak Joshua seraya tersenyum lebar. "Nah, ini baru anak Ayah."
Evans dan Joshua tergelak bersamaan tanpa memedulikan tatapan risih semua orang tua dan murid yang ada di sekitar mereka.
Setelah acara perpisahan yang digelar tiga jam yang lalu. Dan para orang tua dan murid-murid angkatan akhir sudah menghabiskan waktu untuk bercengkerama satu sama lain serta mengabadikan momen tersebut melalui perantara kameramen bayaran. Akhirnya, semua orang satu per satu beranjak pergi meninggalkan area sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
Fiction généraleDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...