Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi

62 24 0
                                    

     "Jadi Tirto Koesno itu ...."

     Joshua menjeda kalimat di ujung, dengan nada agak datar dan kedua netra menatap nanar ke arah lantai.

     Tak sudi melihat seseorang yang duduk di hadapannya.

     Sementara Evans hanya mengembus napas pasrah, menatap sang anak lekat-lekat dengan gelisah.

     Joshua kemudian menepis rasa tidak sudi tersebut dan berupaya mendongak, menatap sang ayah.

     "Adalah Ayah sendiri?" sambungnya penuh penekanan.

      Evans lekas membenarkan posisi duduknya, mendorong kursi roda kantor mendekat ke meja.

     "Ya betul," ujarnya pahit.

     "Berarti Tirto Koesno adalah nama pena Ayah, betul?"

     Evans hanya menggangguk pilu, menanggapi pertanyaan Joshua.

     "Tapi kenapa Ayah menyembunyikan identitas sendiri? Malah Pak Budi mengira Tirto Koesno adalah teman dekat Ayah sampai memintaku mengirim salam untukmu, Yah."

     Begitu tidak ada tanggapan yang dinanti dari Evans, walau Joshua dapat melihat kernyitan ayahnya seolah bertanya, "Bagaimana bisa kamu bertemu dan kenal dengan Budiman?"

     Joshua kembali meneruskan perkataannya.

     "Aku sudah mendengar kisah gemilang Ayah itu. Ayah sama sekali nggak kasih tahu pekerjaan Ayah di sini dari awal padaku sampai rela setahun nggak pulang gara-gara ngurus pekerjaan ini kan?"

     Joshua sedikit meninggikan suaranya.

     Pemuda itu masih ingin memerlukan validasi agar semua yang tampak samar-samar menjadi lebih jelas.

     Evans melipat kedua tangan di atas meja, menatap intens perawakan sang anak.

     Ternyata tidak banyak perubahan pada diri Joshua, hanya perubahan kecil pada rambut yang kian memanjang dan tak lagi memakai kacamata.

     Setelah sang anak mengatakan hal tadi, Evans tak dapat menceritakan banyak hal padanya. Terlebih pria itu tidak ingin mempuruk perasaan anaknya lebih lanjut apalagi jika tahu bahwa ada hal lain yang telah dia sembunyikan selama ini.

     "Josh, maafkan Ayah karena nggak pulang sesuai janji waktu itu. Ayah sebenarnya mau pulang hanya saja pekerjaan ini menuntut Ayah untuk tinggal lebih lama."

     "Kenapa Ayah nggak kabari aku dan Eomma? Padahal Ayah sudah berjanji untuk ngirim surat waktu itu. Belum lagi Ayah nggak ngasih nomor telepon biar bisa dihubungi."

     "Ahh ... itu."

     Evans tertegun sejenak.

     Dia kelabakan untuk memulai penjelasan dari mana. Dia mengepal sebelah tangan kemudian didekatkan ke mulut sambil berdeham putus-putus yang justru seperti seseorang yang sakit tenggorokan.

     Dari situ dia sudah tahu bahwa itulah alasan kenapa Joshua rela datang jauh-jauh ke Jogja untuk menemuinya. Lebih tepat, mencarinya.

     "Tanpa kubilang pun, Ayah pasti sudah tahu kenapa aku datang ke sini. Tadi pagi, Pak Budi mengantarku ke rumah Ayah dan ternyata rumah itu sudah dijual beberapa bulan lalu."

     Pemuda putih pucat itu meremas ujung kursi, suaranya bergetar menahan tangis.

     "Ayah tahu, aku sempat nyerah dan ingin pulang saja ke Busan karena itu. Pak Budi pun nggak banyak membantu, beliau hanya bisa memberikan bantuan sebisanya."

Jendela Joshua (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang