Joshua menjatuhkan rahang begitu mereka tiba di tempat tujuan. Hingga tanpa sadar Joshua mengulas senyum lebar. Kaki jenjang dia tapakkan perlahan melewati pintu kaca otomatis kemudian menginjak permukaan lantai marmer yang mengkilap, lalu sejenak tiupan-tiupan hawa sejuk menerpa wajah.
Setelahnya, dia merasakan kesejukan tiada tara di sepenjuru ruangan ber-AC tersebut. Dia menghirup dalam lalu diekori bau-bau yang sejak lama dia rindukan, yaitu bau lembaran-lembaran kertas baru.
Kemudian dia merotasi ke sekeliling, terlihat beberapa rak dan meja dipenuhi tumpukan buku dengan sampul beraneka ilustrasi dan warna memenuhi atensinya.
Joshua tertarik pada bagian rak yang berlabel buku-buku puisi. Menggapai sembarang buku testern, sekadar mengintip isi, membolak-balikkan halaman kemudian menghirup dalam aroma khas pada setiap lembarannya.
Dia teramat merindukan momen ini setelah sekian lama tidak berkunjung ke toko buku.
Terakhir kali dia ke toko buku, sejak berusia lima belas tahun. Jangan lupakan bahwa ayahnya pertama kali mengajaknya ke toko buku.
Setiap kali dia ingin membeli buku, sudah menjadi tradisinya untuk melakukan hal-hal yang disebutkan di atas. Karena sibuk sendiri, dia tidak menyadari kalau wanita itu sedang bersama dengannya.
Kartika berdeham di belakang punggung Joshua diselingi kekehan kecil.
"Saya nggak tahu, ternyata kamu semaniak itu dengan buku ya?"
Joshua cengingiran sambil menggaruk tengkuknya. Lalu meletakkan kembali buku di genggaman pada tempat semula.
Kartika lantas melihat-lihat dari satu judul puisi ke judul puisi yang lain kemudian terhenti pada buku yang berilustrasi jejak kaki, buku yang berwarna dasar merah menyala dan tak lupa judul yang dibubuhi warna aksen jingga. Sangat cantik.
"Tirto Koesno."
Seketika Joshua terhenyak, mengalihkan perhatian dari rak buku lalu memandang Kartika di sampingnya yang sedang menggenggam buku tersebut dengan tatapan yang sulit Joshua artikan.
"Tirto siapa?"
"Dia adalah penyair fenomenal dan merupakan salah satu penyair favorit saya. Banyak karya-karyanya terjual hingga berkali-kali naik cetak. Semua orang suka dengan keterampilan dia dalam merangkai puisi."
Dari nada bicara yang terdengar sendu, Joshua pastikan bahwa Kartika sangat sedih lantaran tak lepas menatap buku yang ada digenggamnya.
Kemudian wanita itu tersenyum tipis lalu menyerahkannya pada Joshua.
Joshua langsung mengambilnya lalu menatap judul besar yang terpampang.
"Tapak Tilas," gumam Joshua yang nyaris didengar oleh Kartika.
Setelah itu, kedua netra mengarah pada bagian bawah sampul buku, tertulis Tirto Koesno.
Joshua mengernyitkan dahi.
Kedua suku kata itu terdengar asing bagi Joshua jika dia menyebutnya seorang penulis.
"Sangat disayangkan, sejak beliau menerbitkan Tapak Tilas, nggak ada lagi terdengar kabar Tirto Koesno masih lanjut menulis karyanya."
Kartika menambahkan. Lalu menunjuk buku di genggaman Joshua melalui dagunya.
Semakin lama menyimak, Joshua semakin tidak mengerti kenapa Kartika membahasnya.
"Buku itu adalah karya terakhirnya, Josh. Terbit setahun yang lalu. Padahal dia sudah banyak berjasa dalam bidang sastra terutama meningkatkan literasi di negeri ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
General FictionDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...