Malam pun menjelang.
Joshua membulatkan tekad untuk menyelesaikan sesuatu yang telah sekian purnama dia mulai.
Dia duduk bersila di atas ranjang, merogoh isi ransel, mengeluarkan setumpuk kertas HVS kemudian notebook mungil yang pada bagian permukaan sampul kulit sudah koyak dan terdapat goresan inisial J. E. di sana.
Lalu Joshua merogoh kocek celana, mengeluarkan sebuah bolpoint yang teramat berharga di dalamnya.
Lakukan saja, Joshua. Lakukan saja. Buatlah dirimu bangga.
Dia lantas membolak-balik notebook di genggaman dengan serius.
Menemukan sesuatu yang dapat dirangkai, dikumpulkan jadi satu paduan utuh. Tak lupa pemikiran yang dirasa relevan terhadap kondisi masyarakat saat ini.
Begitu selesai, Joshua mengubah posisi duduk, bersandar ke dinding dan meluruskan kedua kaki. Lalu memangku sebuah laptop yang dipinjamkan Budiman.
Joshua menatap ragu-ragu halaman pertama dari MS Word 2003 itu.
Kursor di ujung halaman berkedip-kedip sejak tiga puluh detik lalu, tapi tak ada reaksi pergerakan di sana.
Jemari-jemarinya cuma terhenti di atas papan keyboard. Kesulitan untuk menyinkronkan isi otak ke dalam layar.
Sesaat dia mengerang.
Nggak. Nggak bisa begini. Aku harus menulis bagaimanapun caranya. Ya Tuhan, tolong bantulah aku.
Hingga dia melupakan sesuatu.
Melirik ke tumpukan kertas HVS dan sebuah bolpoint di sebelah kanannya yang seakan memanggil-manggil untuk dimintai revisi.
Mungkin lebih baik untuk memulai terlebih dahulu bagian yang paling mudah dikerjakan dan praktis untuk ditorehkan.
Menulis di atas kertas.
Bergegas menutup laptop kemudian beralih pada setumpuk kertas di pangkuan sembari memegang sebuah bolpoint.
Kedua mata lincah memindai dari satu kata ke kata yang lain. Tanpa perlu disuruh, tangan dengan cepat mencoret. Lalu mengganti kata tersebut agar menjadi kalimat yang tegas dan jelas.
Beberapa yang lainnya, dia mempelajari kalimat efektif seperti itu di beberapa buku puisi milik Tirto Koesno. Dan beberapa lagi terinspirasi di lembar surat kabar yang pernah dibacanya di kedai tempo lalu.
Selintas, Mbok Susi masuk ke kamar sehingga memblokir pemandangannya dari kertas.
Wanita paruh baya yang mengenakan kebaya itu ternyata membawa nampan berisi sajian makan malam beserta segelas air putih.
"Nak Joshua, sejak tadi saya sudah nunggu di meja makan. Jadi saya pikir saya bawa saja kemari biar bisa Nak Joshua makan di sini."
"Oh iya iya. Nenek taruh saja di situ, nanti saya makan kok."
Joshua lantas menunjuk kasur kosong di seberang kasurnya. Melemparkan senyum.
Di lubuk hati kecilnya, ada sedikit rasa bersalah sehingga membuat Mbok Susi menunggu seperti itu.
Sambil menaruh nampan di atas kasur, Mbok Susi berkata. "Keliatannya Nak Joshua sibuk sekali, maaf kalau saya mengganggu."
"Eeh ... nggak kok nek. Saya nggak merasa terganggu," kata Joshua seraya menggerakkan kedua telapak tangannya.
Sesaat dia mengganti obrolan.
"Ngomong-ngomong Pak Budi kemana, Nek?"
"Dia masih di toko. Seperti biasa, selalu bantuin karyawan-karyawannya di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
General FictionDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...