Esok harinya, pukul delapan pagi lewat tiga puluh menit. Di kantor penerbit Magnet Group. Lantai dua bagian staf editorial.
"Syukurlah, kamu kemari lagi, Josh!"
Wanita muda itu berseru gemas selayaknya pasangan yang baru saja digantung selama tiga bulan dan rasanya dia ingin sekali meremukkan wajah oriental pemuda yang selama ini terbayang-bayang dalam benaknya.
Sedangkan pemuda putih pucat itu terpaku di tempat usai memasuki bilik meja kerja Kartika. Terlihat wanita itu sibuk membereskan beberapa naskah yang menumpuk.
Ketika disapa begitu, Joshua bergestur seperti orang yang baru kedapatan berselingkuh.
"Kamu tahu nggak, Josh?"
Kartika lantas mengambil setumpuk kertas HVS lalu merapikannya.
"Tiga bulan lalu, Saya datang ke kedai itu ingin menemuimu," ujarnya.
Setumpuk kertas tadi terhentak sangat keras di atas meja. Membuat Joshua tersentak dalam waktu bersamaan.
"Rupanya kedai itu dijual karena jatuh bankrut. Untungnya, saya nggak sengaja ketemu sama rekanmu, Hendra. Dia bilang kamu sudah pulang lebih dulu ke korea!"
"Ha?" Joshua ternganga.
Kartika menghentakkan setumpuk kertas lainnya ke atas meja. Lalu menatap Joshua sesaat kemudian menghela napas panjang.
"Astaga, Josh! Pekalah!" tegas Kartika sambil mengeluarkan kedua telapak tangan ke arah pemuda di hadapannya.
Sepersekian detik, Joshua ber-oh cukup panjang. Dia lantas menggaruk-garuk kepala.
"Maaf, Mba. Ada hal mendesak waktu itu, jadi mohon maaf."
Kartika lantas memijat kening tak karuan.
Maksudnya bukan begitu, dia hanya ingin menekankan kembali dari perkataan sebelumnya. Bahkan dia tak pernah menuntut seseorang untuk meminta maaf.
Malah akan terlihat kekanak-kanakan bila direspon begitu oleh Joshua.Pemuda itu memang tipikal orang yang sulit sekali dikasih paham.
"Bukan. Saya tahu itu. Jadi nggak perlu minta maaf, Josh. Cuma agak kesal aja kamu lambat konek yang saya bilang."
Joshua lantas terkekeh-kekeh. Dia kemudian mendekat, lalu duduk di kursi satunya.
"Mba Tika, saya mau nanya soal naskah puisi itu. Apa ada kabar dari tim redaksi?" Joshua bertanya dengan tatapan yang berseri-seri.
Sementara Kartika terhenyak sekejap, menghentikan merapikan kertas.
Dia menatap Joshua lamat-lamat kemudian akhirnya berkata, "Rencananya saat itu saya ingin memberitahumu kalau naskah-naskah lolos akan diberitahukan lima hari lagi setelah pengecekan tiga bulan."
Joshua lantas mengernyit. "Maksud Mba, saya harus nunggu lima hari lagi dari sekarang?"
Wanita muda itu menangguk pelan. "Coba saja kamu nggak pulang ke korea dulu, Josh. Yang ada dapat berita mendadak begini."
"Tapi ... Kok bisa?"
Kartika mengusap wajah gusar. Lalu menggeleng-geleng.
"Detilnya saya kurang tahu. Mungkin atasan mengganti skedulnya, mengingat banyak pula naskah yang masuk akhir-akhir ini."
Kepala pemuda itu tertunduk lesu. Kalau seperti ini caranya dia tidak punya banyak waktu lagi di Jogja.
Sebelumnya, Joshua sudah mengabari sang ibu di Busan melalui telepon rumah Umar, ibunya sempat berpesan untuk segera pulang dalam waktu seminggu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
Ficción GeneralDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...