Bab 01 - Kedai Sejahtera

644 99 179
                                    

     Yogyakarta, Maret 2005

    Kemilau jingga menderang, melintasi sudut dinding abu keputihan yang berkerak-kerak. Melalui jendela, sang surya berpamitan, digantikan posisi oleh sang purnama yang sudah sejak lama menunggu dari ufuk timur.

Langit hari itu berubah menjadi ungu kebiruan, menghasilkan paduan warna yang membuat siapa saja berdecak kagum.

Sama halnya dengan dia. Momen itu justru dia manfaatkan untuk merangkai kata demi kata pada sebidang kertas. Duduk mematung di depan meja yang bagian permukaan atas, membentuk bolongan-bolongan kecil yang termakan oleh rayap.

Udara dari luar menelisik rongga-rongga kaus polos berkumal, menghembus kulit pucatnya. Rambut hitam kecoklatan sedikit bergelombang, tertiup-tiup angin di bagian ujung poni yang melengkung ke dalam.

Goresan-goresan yang dia ciptakan pada baris pertama tidak terlalu buruk, hingga mampu menorehkannya dalam sebuah bait yang rapi.

Belum dia menyelesaikan potongan bait berikutnya, suara gemerincing membuyarkan segala ide puitisnya, sampai bolpoint yang digenggam meluncur menuju ke luar baris kertas, mencetakkan coretan sempurna.

Suara itu semakin lama, terdengar cukup keras. Memekakkan kedua telinga. Sesaat dia menyadari suara gemerincing berasal dari luar.

Dia mencuatkan kepala pada jendela, menoleh ke kiri, ke kanan, dan ke bawah. Jalanan di hadapan mulai gelap dan sepi, begitu menjelang maghrib. Dan tampak ada seorang anak yang lewat membawa kerincing.

Sang purnama senantiasa menyaksikan dia yang terusik, menyinari postur wajah oriental dan kesederhanaan bentuk wajah yang tidak dimiliki pemuda-pemuda tampan di luar sana.

Lambat laun suara itu meredam dan anak yang membawa kerincing itu hilang dari pandangan.

Hendak saja duduk kembali melanjutkan kegiatannya. Dentuman-dentuman datang menggoyangkan seisi kamar.

Ketukan pintu kencang pun berhasil memporak-pandakan niatnya, teriakan yang dikumandangkan sering kali terjadi, saat dia dibutuhkan segera.

Joshua.

Satu nama yang melulu diucapkan orang.

Dia mendesah, memutar bola matanya, menghela nafas kemudian menuju ke ambang pintu dan menemukan pria yang hampir seluruh rambut dipenuhi uban sedang membenarkan kacamata petak sambil memasang raut yang sangat menakutkan, membuat kerutan wajah terlihat lebih jelas.

"Joshua, lebih baik kamu turun dan bantu yang lain!" tegas pria itu. Joshua lantas mengangguk-mengangguk.

Anak tangga kayu yang mulai keyok dia turuni dengan was-was menyusuli pria tadi. Tiba di lantai dasar, sekumpulan orang berbondong-bondong berdatangan memenuhi meja ke meja.

Tampak orang yang bertugas masing-masing di satu meja, membersihkan noda-noda yang menempel serta mengambil mangkok dan gelas yang bertumpuk-tumpuk.

Joshua tidak berdiam sesaat jika salah seorang pelanggan bersama rombongan menegur, meminta dia untuk membersihkan meja tepat di sampingnya. Dengan cekatan, mangkok dan gelas sudah berpindah, mengelap meja sampai mengkilap.

Jendela Joshua (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang