Tak terasa tiga bulan berlalu.
Joshua berpikir untuk segera kembali ke Jogja supaya dapat menerima kabar langsung dari penerbit itu, tetapi Seo Mi sempat mencegat untuk tidak pergi kemana-mana dan memarahinya begitu tahu bahwa dia pernah mengajukan naskah.
Namun, alangkah baiknya Tuhan seakan mendengar kegundahan hati pemuda itu sehingga hati sang ibu dibuat luluh setelah Joshua menjelaskan lagi dengan perlahan.
Suatu malam, Seo Mi memanggil Joshua untuk datang ke kamarnya.
Wanita itu kemudian meraih tangan sang anak, menyelipkan beberapa lembaran won lalu menutup telapak tangan Joshua dengan tangan bergemetaran.
Dia berkata begitu lirih, menatap Joshua intens sampai matanya berkaca-kaca seolah dia tidak sanggup merelakan sang anak pergi.
Walau Joshua sudah menggeleng keras, menyelipkan kembali ke tangan sang ibu.
Seo Mi justru menuntut agar uang tersebut diterima tanpa penolakan.
Joshua tak dapat berbuat banyak lalu menerima bantuan kecil yang dihasilkan dari jerih payah sang ibu itu yang nanti akan digunakan untuk memesan tiket pesawat dan untuk keperluan lainnya.
Kata-kata terakhir Seo Mi yang Joshua ingat sebelum dia pergi pagi harinya kira-kira seperti ini, "Kirim kabar jika sudah di sana, jangan buat Eomma khawatir lagi, Arraseo?!"
Joshua hanya mengangguk lalu memeluk ibunya dengan segenap hati kemudian melenggang keluar dari pintu rumah.
Begitu tiba di Bandara Internasional Gimhe, dia langsung memesan tiket, mengurus paspor di bagian imigrasi bandara, lalu menunggu jadwal keberangkatan.
Setelahnya, dia menghabiskan waktu mengudara selama beberapa jam sebelum akhirnya pesawat keberangkatan Busan—Yogyakarta melandas mulus di bandara internasional Adisutjipto.
Satu hal yang tak bisa dia lupakan saat menginjakkan kaki kembali ke sini adalah perkataan Budiman beberapa bulan lalu.
"Jangan pernah lupakan jasa-jasa orang yang sudah membantumu selama kamu berada di sini, Joshua. Nggak peduli apakah bantuan mereka berguna atau nggak."
Mengingatnya, Joshua tersenyum sumringah, hingga dia tahu harus kemana dia pergi.
Begitu sampai di lokasi, dan berdiri sejauh lima meter dari rumah Budiman. Joshua tak menyangka di dalamnya terdapat sekumpulan orang-orang yang mengisi rumah tersebut.
Ada tiga mobil terparkir tepat di halaman rumah klasik itu. Belum lagi anak-anak kecil tampak asik berlari-larian di sana.
Sepertinya ada acara keluarga.
Ingin melangkah, rasanya enggan. Dia kemudian memutuskan berbalik badan.
***
"Ya Allah, Josh. Kenapa kamu datang setelah tiga bulan nggak kelihatan?" Umar berkata dingin saat mengetahui Joshua lah yang sedari tadi mengetuk pintu.
Saat itu, Umar pernah memberitahu alamat rumahnya agar mereka berempat dapat berkumpul lagi. Namun, sangat disayangkan Joshua datang di waktu yang salah.
Napas Joshua naik-turun usai berjalan jauh. Dia mengatur napas sejenak kemudian akhirnya merespon.
"Dimana yang lain?"
Umar lantas paham siapa yang dimaksud pemuda putih pucat di hadapannya ini.
"Hendra sama Dodit nggak ada di rumah. Beberapa hari setelah tahu kamu balik ke Korea, Dodit sudah pulang ke rumahnya. Tujuh hari kemudian, Hendra menyusul dan balik ke Pontianak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
Genel KurguDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...