"Saya harap Mba mau mempertimbangkannya lagi. Jadi menurut Mba, bagaimana?"
Joshua bertanya dengan mantap. Dua sudut bibirnya terangkat tinggi. Tak ada lagi keraguan yang ada pada dirinya.
Dalam kurun waktu lima hari saja kumpulan naskah puisinya telah rampung. Dia berhasil melalui berbagai kendala saat menulis. Merombak sana-sini. Mengganti kalimat satu dengan kalimat lain. Lalu beberapa kali dia meminta pendapat maupun saran pada Budiman agar naskahnya dapat dipermak dan dimodifikasi.
Terakhir kali Joshua ingat ekspresi Budiman ketika membaca tulisannya, bukannya mengernyit tapi pria renta itu justru ternganga dan kedua matanya membola.
Joshua sama sekali tidak tahu, apakah mendatangi penerbit Magnet Group yang merupakan penerbit mayor adalah pilihan yang terbaik untuknya atau bukan.
Insting Joshua mengatakan bahwa ini jalan yang harus dia coba terlebih dahulu karena kemungkinan peruntungannya lebih besar.
Dia duduk santai sambil memperhatikan Kartika yang duduk di seberangnya yang sedang sibuk meneliti kertas-kertas HVS di atas meja kerja.
Wanita itu tampak serius membaca dari mode diam hingga bergumam.
Sekilas sudut bibir Kartika terangkat. Sampai dia harus menutup mulut saking takjub. Kemudian dirinya terkekeh sendiri seperti orang gila.
Belum lagi, tatapan mata yang begitu terpana saat menelisik kata demi kata setiap lembar kertas.
Sekitar dua puluh menit Joshua menunggu, Kartika selesai mengkhatamkan kumpulan naskah puisi tersebut dalam sekali duduk.
Matanya masih terpaku pada tumpukan kertas di atas meja kerja kemudian melirik sang penulis di seberangnya seakan dia sedang menemukan sesosok yang sangat langka.
Kartika lantas mengangkat telapak tangan yang mengarah ke tumpukan kertas. "Ini ... sungguh ... fantastis, Josh!"
Raut wajah wanita itu berseri-seri. Lekas tersenyum begitu lebar. Sambil menghujam telunjuk berkali-kali ke atas tumpukan kertas.
"Entah kenapa, saat membacanya malah saya merasakan hal yang sama seperti yang tertulis di sini, Josh. Dari gaya bahasamu yang sedikit menyindir justru bikin saya bergidik bercampur geli." Kartika antusias menilai.
"Ditambah kamu mengikuti saran saya waktu itu, Josh. Naskah ini jelas sekali bacaan yang diinginkan dan dibutuhkan orang-orang karena kamu mewakilkan suara hati mereka. Pendapat dan pesan yang terkandung juga cukup relevan dengan kondisi masyarakat saat ini," lanjutnya tak henti-henti tersenyum.
Mendengar itu, hati Joshua seakan melompat-melompat. Saking girangnya, Joshua tersenyum hingga menampakkan jejeran gigi putihnya.
"Serius? Mba?!?" tanya pemuda berkulit putih pucat itu memastikan.
"Iya, bukan cuma serius tapi dua rius," timpal Kartika seraya merentangkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
Joshua lantas terkekeh. "Makasih, Mba Tika."
"Berarti naskah ini siap untuk diterbitkan?"
"Oh, nggak secepat itu, Josh."
Kartika mengangkat telapak tangannya ke arah Joshua.
"Sebelum itu, saya ingin tanya. Kenapa kamu mau mengangkat tema pekerjaan dan impian dalam naskahmu?"
Sejujurnya, tidak ada alasan khusus yang membuat Joshua mengangkat tema seperti itu. Dia menulis berdasarkan naluri dan insting yang mana dia mau sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
General FictionDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...