Esoknya, Joshua datang lagi ke Koesno's Publishing, jam delapan pagi. Di tempat yang sama, di ruang pemimpin redaksi, mulailah potongan-potongan obrolan ringan dan santai di antara sang ayah dan sang anak.
Joshua sempat mengira bahwa Koesno's Publishing sendiri diambil dari nama Koesno, nama pena belakang sang ayah.
Kemudian Evans meralatnya dan memberitahu bahwa Koesno's Publishing sendiri diambil dari nama pemilik dan pemimpin redaksi pertama perusahaan ini. Yang kata Evans, pemilik itulah yang menawarkan posisinya sebagai pemimpin redaksi.
Obrolan terus berganti.
Joshua menceritakan semua pengalamannya selama berada di Jogja, mulai dari kehidupan menjadi seorang pelayan di Kedai Sejahtera, mengulik sisi buruk dan baik bekerja di sana, sampai menceritakan relasi teman-teman rekan kerja hingga boss yang menjengkelkan.
Cerita berlanjut ketika dia berjumpa dengan teman kuliah sang ayah yang kutu buku lalu menceritakan hal-hal tentangnya, terutama Budiman yang mengaku sebagai pecinta karya Tirto Koesno.
Lalu diakhiri dengan Budiman yang kaget begitu mengetahui bahwa Evans adalah di balik sosok penulis legendaris itu.
"Kamu bilang gitu ke Budiman kemarin, Josh?" Evans bertanya sambil membenarkan kacamata setelah mendengarkan cerita putranya panjang lebar.
Joshua mengangguk lantas berkata, "Bukan itu saja, Yah. Waktu aku bilang gitu, Pak Budi sebenarnya agak kecewa sama Ayah karena nggak pernah bilang dari awal. Beliau juga kesal Ayah nggak bertamu lagi ke rumahnya."
Joshua mengingat betul ekspresi Budiman untuk terakhir kali. Wajahnya benar-benar terlihat seperti lansia yang sedang marah, wajahnya juga terlihat murung sehingga membuat keriput wajah pria itu semakin menambah.
Joshua berceletuk kata-kata yang diucapkan oleh Budiman padanya tadi pagi.
"Kalau kata beliau sih ...."
Joshua menjeda sesaat lalu meneruskan, "Mentang-mentang sudah di atas, tapi mendadak lupa sama yang di bawah."
Seketika pula Evans tergelak.
Joshua mengernyit.
Kenapa sang ayah tertawa terbahak-bahak seperti itu? Dalam sekejap, Joshua membayangkan di benak kalau Evans sedang berlagak sombong.
Namun, dari nada lengkingan tawanya tak pula menunjukkan kalau Evans merendahkan Budiman. Malah seperti dia menertawakan sesuatu yang lucu.
Tawa Evans mereda, lalu menyilang kedua lengan di dada.
"Kebiasaan merajuknya ternyata nggak pernah berubah sejak kuliah," monolognya sambil tersenyum melirik meja kerja.
Lalu balik menatap pemuda blasteran di hadapan.
"Kamu sudah bilang ke Budi kalau kamu nanti nginap di rumah Ayah?"
Hal terlupakan dibahas kemarin adalah persoalan satu itu.
Menginap.
Ketika mengobrol barusan, Joshua sempat bertanya dimana ayahnya tinggal sekarang. Karena Joshua ingin sekali mampir ke rumah baru (dalam artian rumah baru untuk menginap).
Bukan tanpa alasan kemarin Joshua tidak bisa langsung pulang ke rumah sang ayah. Waktu itu juga berjanji ketika pulang ke rumah Budiman dan menceritakan semua hal kepada pria itu setelah dari penerbitan.
"Apa Ayah nggak ada niatan untuk bertamu ke rumah Pak Budi?" Joshua berkata kasihan.
Sementara Evans mengibaskan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Joshua (End)
Fiksi UmumDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...