Ruang penyekapan itu berisi 5 orang pemuda asing, 4 berdiri dan yang satunya lagi terikat di kursi dengan sekujur tubuh yang basah kuyup dan juga wajah yang babak belur.
Sophie bergidik ngeri, ia sempat berpikir kalau dirinya akan mendapatkan giliran yang selanjutnya setelah pria malang itu. Namun, apakah Xander sanggup melalukan hal itu kepadanya? Oh, Sophie lupa bahwa pria yang sedang mencengkeram lengannya saat ini bukanlah Xander, melainkan Axl.
Persetan, saat ini Sophie hanya peduli dengan nasibnya sendiri!
Xander masih mencengkeram erat lengan Sophie saat pria itu menghampiri algojonya dengan ukuran tubuh yang paling besar di sini lalu bertanya, "Dia sudah mengatakan sesuatu?"
"Sudah bos, dia mengatakan kalau Van Bergen ingin memanfaatkan wanita ini untuk mengancammu"
Xander memandangnya remeh, "Dasar bajingan tua tolol!"
Sophie tak mengerti Van Bergen mana yang mereka bicarakan, bukankah John Van Bergen sudah mati?
"Duduk di sana dan jangan berani bergerak sedikit pun" titah Xander kepada Sophie. Mengangguk takut, Sophie pergi dan mendudukan bokongnya di atas kursi yang Xander tunjuk.
Xander mendengus lalu menghampiri pria tak berdaya yang duduk terikat di atas kursi kayu. Ia berdiri bersedekap tepat di hadapan pria itu lalu berkata, "Singkirkan kain itu dari mulutnya"
Mata pria itu memandang gamang lantai yang Xander pijak.
"Berapa Van Bergen membayarmu?" tanya Xander.
Rahang pria itu masih terlalu kaku untuk berbicara setelah mulutnya disumpal kain selama satu jam penuh. Nasibnya memang sial, Xander menangkapnya tiga puluh menit setelah ia berbicara dengan Van Bergen, alhasil rencana tentang penculikan Sophie Banks pun terbongkar.
Bugh!
Sepatu kulit Xander menghantam kuat rahang pria itu, menambah memar pada wajahnya yang sudah babak belur.
"Se-seribu...." jawabnya dengan nafas yang terputus-putus.
Xander mendengus remeh, "Aku akan memberikanmu tiga ribu jika kau bersedia bergabung denganku, namun jika kau menolak....,"
Pria itu tampak ketakutan.
"Kau pasti sudah tahu apa akibatnya"
Ia tidak punya pilihan, bukan?
"A-apa yang harus kulakukan?"
Xander tersenyum miring, "Mudah" jawabnya, "Hanya menjadi dirimu yang sebelumnya, tetap bekerja kepada Van Bergen karena aku ingin kau memata-matainya"
"Ba-baiklah"
"Bagus" senyum puas dan licik terlukis di wajah tampan itu. Sophie yang duduk di tepatnya memandang sosok Xander yang tidak asing baginya, sifatnya yang mengintimidasi, seringaiannya, mimik wajah yang dingin nan datar dan aksen Inggris yang sangat kental. Ah, tidak salah lagi....sifat Xander yang mengerikan ini pernah ia hadapi sebelumnya, yaitu pada pertemuan pertama mereka dan juga malam saat Xander menciumnya untuk yang pertama kali.
Ah, mungkinkah yang Sophie hadapi saat itu adalah Axl bukan Xander? Memikirkannya membuat Sophie semakin kebingungan saja. Jika memang benar mereka kembar identik Sophie tidak melihat sedikit pun perbedaan dari fisik Xander dan Axl. Wajah, postur tubuh, gaya berpakaian, semuanya sama. Perbedaan mereka hanya terletak pada perbedaan sikap yang sangat kontras. Xander dan Axl bagaikan satu koin dengan dua sisi.
"Sekarang pergi dan obati dirimu sendiri, aku menginginkan informasi tentang pria itu sekecil apa pun kau harus mengatakannya kepadaku" Sophie terjengkit kaget di tempat duduknya saat Xander mencengkeram batang leher pria itu, "Bom ada di dalam kepalamu, jika kau berani macam-macam kau akan mati"
Kedua bola mata Sophie membesar, mulutnya terbuka lebar menyentuh lantai, wajahnya menjadi pucat, dan tubuhnya luluh lantak karena ancaman yang baru saja ia dengar. Bom? Di kepala? Oh, tidak.
Pria itu pergi setelah anak buah Xander melapaskan tali yang mengikat tubuhnya. Sementara itu Xander berbalik dan menghampiri Sophie yang masih duduk di pojok ruangan dengan wajah yang diselimuti ketakutan.
"Sekarang giliranmu, My Little Sophie"
Air mata meluncur deras membasahi wajah Sophie, "Tidak, jangan bunuh aku...."
Xander menyeringai lebar, "Aku tidak berpikir untuk membunuhmu sebelumnya, tapi kau baru saja memberikanku ide yang bagus, terima kasih"
Sialan.
"A-apakah kau juga menaruh bom di kepalaku?"
Pria itu tertawa geli dengan suaranya yang menyeramkan, tentu saja. "Ya, maka dari itu jangan pernah berpikir untuk kabur" jawabnya.
Oh brengsek, bagaimana Xander sanggup mempermainkan nyawa seseorang seperti ini? Tidakkah ia punya belas kasihan sama sekali?
"Jadi, sampai di mana kita tadi?" Xander menumpukan kedua tangannya di pegangan kursi yang Sophie duduki. Jarak mereka begitu dekat hingga Sophie dapat mencium aroma liar dan jantan dari tubuh pembunuh itu. Memejamkan matanya, Sophie memberanikan diri untuk bertanya, "Di-di mana Xander?"
Ia mendengus geli, "Xander telah meninggalkanmu, dia mematahkan hatimu tapi kau masih peduli kepadanya? Sungguh gadis yang tolol"
Mendengar dirinya dihina Sophie pun menjadi berang, "Kau yang membuat Xander meninggalkanku!" semburnya tepat di depan wajah bengis itu.
"Tidak adil jika kau menyalahkanku Soohie, Xander adalah pria yang lemah, dia tidak bisa memperjuangkan miliknya sendiri apalagi melindungimu? Dia pecundang"
Wajah Sophie sudah basah kuyup oleh air mata. Jika sebelumnya kepalanya dipenuhi oleh ketkutan, maka sekarang dirinya justru tidak bisa berhenti memikirkan keadaan Xander. Dia butuh melihat pria itu, dia butuh mengetahui bahwa Xander baik-baik saja.
Menatap ke dalam mata pria yang mengaku sebagai Axl, Sophie terpaku karena ia dapat melihat sosok yang ia cintai di mata biru terang itu. Xander ada di sana, Xander ada di dalam diri Axl, Sophie dapat merasakannya.
"Xander?"
Wajah bengis itu berubah menjadi datar tanpa ekspresi saat suara Sophie yang lembut menyebut nama Xander dengan penuh kasih.
"Sudah kukatakan aku bukan Xander! Axl, sebut namaku, aku Axl!"
Sophie menggeleng menolak perintahnya, "Kau adalah Xander, aku mungkin hanya mengenalmu selama dua hari tapi kau tidak bisa membohongiku Xander, apa yang sedang kau lakukan? Kumohon jangan seperti ini, kau adalah pria yang baik!"
"Persetan denganmu!" menjambak rambut Sophie, Xander melempar tubuh rapuh itu sehingga Sophie jatuh tersungkur di lantai semen yang dingin, "Tidak ada seorang pun yang bisa mengajariku!" bentaknya.
Sophie meringis lalu memegang pergelangan kakinya yang terkilir. Memar mulai mewarnai pergelangan kaki Sophie yang kecil, rasanya semakin sakit, bahkan pergelangan kaki yang sebelumnya tidak bengkak kini sudah membengkak.
Mata Xander jatuh ke arah yang sama, tanpa mengatakan apa-apa pria itu membungkuk lalu membawa Sophie ke dalam gendongannya. Sophie tidak menolak, sebab ia sudah tahu di dalam pelukan siapa ia berada. Xander tidak akan menyakitinya dengan sengaja, pria itu hanya menggertak agar Sophie tidak banyak bicara. Dan lagi pergelangan kaki Sophie memang butuh pertolongan saat ini.
— TBC —
Vote+comment for next!
KAMU SEDANG MEMBACA
En Pointe (Exotic Dances Collection 4) / Complete
Roman d'amourExotic Dances Collection #4 Impian Sophie Banks hanyalah satu yaitu menjadi tokoh utama pada seni pertunjukan balet tingkat internasional, dan impian itu nyaris terwujud andai saja tragedi pembunuhan John Van Bergen tidak terjadi di pertengahan pert...