Arza memarkirkan motornya. Parkiran sekolah masih tampak sepi, hanya ada beberapa motor yang berada disana. Tentu saja sepi, saat ini jam masih menunjukkan pukul 6.20 am. Hanya anak kelewat rajin yang sudah datang.Sedangkan Arza bukan termasuk golongan itu, ia sengaja datang pagi untuk menghindari sarapan bersama keluarganya. Mood Arza sangat buruk dari kemarin, ia tak ingin memperparah dengan melihat wajah keluarganya.
Arza menyusuri koridor sekolah dengan headset ditelinganya. Ketenangan dipagi hari, sudah lama ia tak merasakan suasana tenang seperti ini.
Tapi sepertinya semesta tidak mengizinkan Arza merasa tenang. Terbukti dengan kenangan satu tahun yang lalu kembali berputar dikepalanya, dan sialnya semua kenangan itu hanya tentang betapa menyakitkan hidup yang Arza lalui.
Arza berteriak frustasi. Apakah ia benar-benar tidak diizinkan merasa tenang?
Arza ambruk ke lantai, kakinya sudah tak kuat menopang tubuhnya. Air mata merembes membasahi pipinya. Arza menangis, lagi.
Arza menyandarkan kepalanya, membiarkan air mata terus jatuh. Dadanya terasa sesak, rasa sakitnya sangat sulit untuk dideskripsikan. Arza kembali dipeluk erat oleh rasa kehilangan.
"Bunda." lirihnya.
Diujung koridor itu, Arza menunjukkan sisi aslinya, sisi lemah yang tak berdaya. Sisi yang berusaha ia tutupi dengan sifat dingin dan cuek. Tapi pagi ini, topeng itu terlepas, menunjukkan betapa menyedihkannya seorang Danafa Arza.
°°°°
Bel istirahat berbunyi nyaring.
Sorakan gembira dari murid X IPS 1 saling bersahutan, tak terkecuali dengan Inaya, dua jam bersama matematika cukup membuat ia ingin muntah.
"Mau ke kantin?" Inaya mengalihkan atensinya pada seorang gadis yang kini berdiri menghadapnya, Desi-- teman barunya. Inaya mengangguk, lantas mengikuti langkah Desi menuju kantin.
Suasana kantin sangat ramai, banyak murid berdesakkan memesan makanan, memperebutkan tempat duduk dan masih banyak lagi.
"Kita mau duduk dimana?" tanya Desi. Tangannya sudah pegal memegang nampan berisi bakso miliknya.
Inaya tak menghiraukan ucapan Desi, matanya masih berkeliling mencari sosok Arza.
"Inayaaaa." rengek Desi. Sekarang bukan hanya tangannya tetapi kedua kakinya juga sudah pegal.
"Sebentar." ucap Inaya masih sibuk memperhatikan satu persatu meja, hingga akhirnya sosok yang ia cari terlihat sedang makan berdua di meja ujung.
"Ayo kesana." ucap Inaya berjalan lebih dulu meninggalkan Desi.
Desi mendengus kesal, namun tetap mengikuti langkah Inaya.
Inaya dan Desi berhenti di meja ujung yang terisi dua orang, siapa lagi kalau bukan Arza dan Rifda.
"Kak." panggil Inaya.
Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari bibir dua orang itu.
"Aku sama teman aku boleh gabung?" tanya Inaya.
Lagi, tidak ada jawaban. Inaya diabaikan.
Desi sudah berkali-kali menarik lengan Inaya untuk pergi dari sana, tapi inaya masih geming. Desi tak tahu ada hubungan apa Inaya dengan dua kakak kelasnya ini, atau Inaya adalah salah satu penggemar Arza? Jika iya, Inaya sangat nekat mendekati kakak kelasnya di kantin.
"Gabung aja." Itu suara Rifda, ia sudah jengah melihat Inaya tetap berdiri dengan senyum bodohnya.
Tapi Inaya tetap tak bergerak barang seinci pun, Desi yang tadinya ingin duduk pun ia urungkan melihat Inaya yang tak bergerak sama sekali. Rifda menghembuskan nafas, inilah mengapa ia malas menanggapi ucapan Inaya, karena gadis itu hanya mendengarkan Arza.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?