Inaya menghela nafas bosan, memandang tak minat televisi yang sedang menampilkan animasi dua bocah berkepala botak, animasi yang sudah sangat lama tapi tak kunjung tamat.Ia merebahkan tubuhnya pada sofa, memilih memainkan ponsel daripada menonton animasi itu. Ini sudah hari kedua Inaya diskors, sekarang ia tahu, libur jika terlalu lama tidak akan menyenangkan lagi.
Suara bel rumah mengalihkan perhatian Inaya, sepertinya ia kedatangan tamu. Inaya sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari kearah kamar, sudah biasa jika ada tamu ia akan bersembunyi di kamar, ia tak tahu kenapa, itu sudah menjadi kebiasaan. Tapi Mamanya malah menyuruhnya membuka pintu.
"Mama aja yang buka, Inaya malu," ucap Inaya sedikit berteriak, karena ia yang berada di ruang tamu dan Mamanya yang berada di dapur.
"Mama lagi masak! Cepat buka pintunya siapa tahu tamu penting!" balas Mamanya juga berteriak.
Inaya mendengus, berjalan malas kearah pintu, tak lupa dengan bibirnya yang terus mendumel.
"Siap-" ucapan Inaya terhenti saat melihat siapa tamunya. Seorang wanita tua yang masih tampak cantik, Ibu dari Papa tirinya yg artinya wanita ini adalah neneknya.
"Nenek!" pekik Inaya girang. Sudah lama sekali ia tidak bertemu sang nenek, walaupun saat bertemu ia selalu diabaikan.
Maria-- wanita yang dipanggil nenek itu memandang jengah Inaya. Saat Inaya mengulurkan tangan ingin bersalaman ia segera masuk ke dalam tanpa menghiraukan Inaya, sudah biasa.
Inaya menghela nafas, memandang nanar tangannya yang masih menggantung di udara, miris sekali. Tapi Inaya tetap memaksakan senyumnya, mengikuti langkah sang nenek memasuki rumah.
"Naya, siapa tam-- Ibu!?" Viana terkejut, ia heran mengapa ibu mertuanya berkujung, hari ini bahkan bukan hari libur.
"Kenapa kamu begitu terkejut? Apa saya tidak diizinkan berkunjung ke rumah anak saya sendiri?" ketus Maria.
Viana buru-buru menggeleng, kemudian memasang senyum manis yang tampak tulus, entah benar tulus atau hanya pura-pura, tidak ada yang tahu.
"Ibu tunggu sebentar, aku buatkan minum. Inaya, temani nenek," ucap Viana sebelum pergi menuju dapur.
Inaya mengangguk, ia duduk di samping neneknya. Suasana canggung menemani mereka, dimana Maria yang malas berbicara sedangkan Inaya takut menggangu sang nenek dengan ocehannya. Ia tidak ingin dimarahi lagi, terakhir kali saat ia mengajak nenek mengobrol, berakhir dengan ia yang mendapat hinaan dari mulut pedas neneknya.
"Nenek apa kabar?" tanya Inaya. Ya, bagaimanapun ia harus berusaha dekat dengan neneknya.
Inaya menghela nafas, ia dianggap tidak ada, lagi. "Nenek kenapa datang? Apa ada urusan penting?" tanya Inaya lagi.
"Apa itu urusanmu? Saya bisa datang kapan saja karena ini rumah anak saya dan lagi saya tidak datang untuk menemuimu dan ibumu, saya datang untuk menemui cucu saya, Danafa Arza," sarkas Maria.
Inaya menunduk, ia merasa bersalah. Ia sungguh tak bermaksud melarang neneknya datang, ia hanya mencoba berbasa-basi.
Viana datang dari dapur dengan segelas teh hangat dan beberapa kue kering, kemudian ia letakkan dihadapan Maria, ia lalu duduk di sofa berhadapan dengan mertuanya.
Maria tidak menyentuhnya sama sekali. "Apa hanya makanan sampah ini yang bisa kamu berikan kepada saya?" ejek Maria.
"Ibu tidak suka kue kering? Maaf, aku tidak tahu. Kalau begitu, Ibu ingin apa? Aku buatkan," ucap Viana.
Maria memutar bola matanya malas, apakah wanita di hadapannya ini sangat bodoh sampai-sampai tak mengerti ejekkan Maria.
"Tidak perlu, lagi pun saya tidak sudi memakan apapun yang kamu buat," ujar Maria.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?