Hari minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu semua orang. Karena di hari minggu, kita bisa beristirahat setelah berjuang di hari-hari sebelumnya, hari minggu menjadi tempat memulihkan tenaga untuk kembali berperang pada esok harinya. Tapi minggu Arza kali ini berbeda. Dia memang mengistirahatkan tenaganya, tidak dengan otaknya.
Perkataaan Rifda beberapa hari yang lalu sangat membekas di kepalanya. Seharusnya Arza tak perlu mempedulikan ucapan Rifda, tapi semua yang terjadi padanya sangat membingungkan. Selama ini Inaya selalu di sampingnya sebagai adik, Arza justru membencinya. Tapi saat malam di mana dirinya melihat Inaya sebagai gadis rapuh, hati Arza perlahan tergerak, perasaan nyaman mulai melingkupi dirinya.
Arza mengerang frustasi. Ia menggulingkan tubuhnya di atas ranjang. Entah sudah berapa kali Arza berguling-guling tak jelas, membuat kasur itu sangat kacau. Bantal dan guling yang berserakan di lantai, bed cover yang tak lagi berbentuk, dan selimut yang entah ke mana. Arza benar-benar mengacaukan kamar....
Alvian.
Ya, benar. Arza sekarang ada di kamar Alvian, kakak sepupunya. Pagi-pagi sekali Arza datang, niatnya untuk sekedar bercerita, karena jujur saja Arza rasa kepalanya akan meledak jika menampung sendirian. Tapi, melihat bagaimana Alvi yang giat belajar untuk try out, membuat Arza tak tega jika menambah beban pikiran sepupunya itu.
Alhasil Arza hanya menumpang di kamar Alvi saja. Walaupun sedari tadi yang Arza lakukan sudah membuat Alvi emosi.
"Argh! Sialan!" erang Arza.
"Lo yang sialan!" seru Alvi, setelah melempar kotak pensil tepat mengenai kening Arza.
Arza mengerucutkan bibirnya. Mengusap-usap keningnya yang nyeri akibat lemparan Alvi. "Apa sih lo! Bukannya belajar yang serius, mengganggu imajinasi otak emas gue!"
"Gimana caranya gue belajar yang serius dengan adanya lo di sini?" sinis Alvi.
"Gue kenapa? Gue dari tadi sunyi senyap, ya!" sungut Arza.
Alvi memutar bola matanya malas. "Ini sunyi?" sarkasnya. Menunjuk satu per satu kekacauan yang disebabkan Arza.
Arza meringis. Sunyi versi dirinya dan Alvi ternyata berbeda. "Ya, salah lo! Kenapa gitu doang bisa nggak fokus?" Arza tetaplah Arza yang tidak mau salah. Ya... sebenarnya manusia mana yang mau salah?
"Terserah, deh! Susah ngomong sama manusia macam lo." Alvian kembali mencoba fokus pada pelajarannya.
Suara Arza yang gaduh perlahan menghilang. Hening, tak ada suara helaan nafas Arza, tak ada Arza yang uring-uringan. Seharusnya menyenangkan, tapi entah mengapa bagi Alvi itu justru menyeramkan.
Alvi memandang lamat-lamat Arza yang kini bersandar pada kepala ranjang. "Za... Za...." panggil Alvi. Arza tetap tak memberi respon, membuat Alvi semakin takut sekarang.
"Alvi," panggil Arza setelah sekian lama diam, membuat Alvi yang tengah berdo'a dalam hati, lega. Setidaknya prasangka tentang Arza yang kesurupan, itu tidak benar.
"Apa?" jawabnya.
"Lo pernah suka sama orang, ga?" pertanyaan Arza membuat Alvi seketika bungkam. Dia bukan pernah, tapi sedang. Sedang jatuh cinta pada gadis yang tidak bisa membalas perasaannya.
Alvi akhirnya mengangguk. "Pernah."
"Cewe atau cowo? Aw!" Arza baru saja menyelesaikan pertanyaannya, sebuah kamus tebal sudah mendarat di kepalanya, dan Alvian-lah pelakunya!
"Lo nggak liat gue cowo? Ya pasti gue suka cewe!" sungut Alvi.
"Kan bisa jadi lo gay," ucap Arza dengan santainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?