Sudah 3 bulan lamanya Arza dan Viana pergi. Tak banyak hal yang berubah memang, hanya saja suasana rumah terasa mati. Inaya yang sibuk bersekolah dan Danial yang bekerja. Membuat kesempatan keduanya bertemu dan mengobrol benar-benar tipis. Hanya saat makan malam dan sarapanlah keduanya bisa berbincang. Selebihnya tidak pernah, bahkan saat hari libur. Inaya yang lebih memilih menghabiskan waktu di kamar dan Danial yang seharian di ruang kerja. Sangat berbanding terbalik dengan dulu, di mana saat hari libur mereka akan liburan, dan jangan lupakan ruang keluarga yang selalu diisi gelak tawa dan obrolan ringan setiap malam.
Sepertinya kepergian Arza dan Viana memberikan pengaruh besar. Kedua Ayah dan anak ini perlahan saling menarik diri, menjauh. Entah karena saling merasa bersalah, malu atau karena sama-sama merasa menjadi penyebab kematian orang yang mereka cintai.
Danial sangat yakin kepergian Viana adalah salahnya, jika saja saat itu ia menemani sang istri di rumah sakit, Viana pasti akan bersmaa dengan mereka saat ini.
Begitupula Inaya yang merasa sangat bersalah sampai tak mampu menunjukkan wajah di hadapan Papa. Dia selalu menyalahkan dirinya atas kepergian Arza. Yang pasti, setelah kepergian Mama dan Kakaknya. Hubungan antara Ayah dan anak itu tak bisa dibilang baik, tapi juga tak terlalu buruk. Komunikasi adalah satu-satu hal yang dibutuhkan mereka sekarang.
°°°°°
time skip.Gadis cantik dengan rambut sebahu masih setia duduk di balkon kamarnya tanpa melakukan apapun. Ia memejamkan mata, menikmati sepoi angin yang berhembus menerpa wajahnya, bibir indah itu melengkung, membentuk senyuman manis. Di kepalanya kembali berputar kenangan bersama dia.
2 tahun sudah berlalu, tapi kenangan itu masih hangat dirasa seolah baru terjadi kemarin. "Kangen," gumamnya pelan. Entah sudah berapa ribu kali kata yang sama terucap.
Suara dering telepon mengalihkan perhatiannya. Melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja, di sana tertera nama "Ayna" sahabatnya. Hanya dilihat tanpa ada niat untuk menjawab. Ia akan membiarkan panggilan itu mati dengan sendirinya.
Ketika panggilan itu sudah dimatikan sepihak, segera disambarnya ponsel dan sling bag miliknya. Pergi menuruni tangga dengan tergesa, pasti gadis yang baru saja menelpon sudah mengomel karena dirinya terlambat.
Hari ini ia akan menggunakan motor, ditatapnya motor besar Ducati Panigale V4 yang terparkir di halaman rumah. Motor ini milik 'dia'. Ia sengaja menyimpan semua barang milik dia.
Dengan harap sang pemilik akan datang untuk mengambil kembali barangnya, tapi sampai sekarang sang pemilik belum juga kembali.
Atau tidak akan kembali?
Entahlah. Ia hanya akan terus berharap.
Ia mulai melajukan motornya pelan, menikmati langit sore di tengah ramainya jalan raya. Tanpa permisi, sekelebat kenangan itu kembali muncul.
Ia rasa sang pemeran utama dalam kenangannya tidak ingin ia lupa akan kehadiran lelaki itu, lelaki yang dulu sempat memberi warna pada hari-harinya yang kelabu. Rasa sakit perlahan menjalar di dadanya. Apa sekarang sudah giliran kenangan menyakitkan itu untuk muncul?
Ditengah langit sore yang indah, Inaya kembali mengingat tentang Arza.
Di sinilah Inaya berada sekarang, pemakaman umum. Entah apa yang membuatnya membelok arah menuju tempat ini. Yang pasti rasa rindunya yang menghantarkan sampai di makam kakak tercintainya, Arza.
Inaya berjongkok di samping makam Arza. Bibirnya masih bungkam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Justru air matanya lah yang lebih dulu luruh. Setiap ke sini, rasa hatinya amat-sangat sakit. Ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri walau 2 tahun sudah berlalu. Inaya masih terpenjara pada penyesalannya.
"Kak, Naya dapat beasiswa kuliah di luar negri, keren 'kan?" ujarnya, terkekeh di akhir sebagai respon dari ucapannya sendiri.
"Aku lebih keren dari Kakak 'kan?" Lagi, tak ada jawaban dari lawan bicaranya. Inaya menghela nafas sebelum kembali berbicara.
"Lusa aku berangkat. Papa juga ikut, kami akan menetap di sana selama aku kuliah. Papa bilang dia gak mau ditinggalkan lagi."
"Ah, hubunganku dan Papa mulai membaik sejak setahun terakhir." Inaya menjeda ucapannya. Tangannya diarahkah untuk mengusap nisan Arza.
"Papa ternyata lebih kuat dari yang aku kira, dia bisa menerima kenyataan dan berdamai dengan masa lalu. Walau butuh waktu satu tahun lamanya untuk dia bangkit." Inaya menghela nafas sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
"Sedangkan aku... aku masih terbelenggu, Kak. Aku masih belum bisa menerima kenyataan, aku masih belum rela, dan aku masih menyalahkan diriku sendiri. Setiap hari aku bangun dan berharap semua yang terjadi hanya mimpi, tapi ternyata dua tahun sudah berlalu." Air mata makin deras mengalir.
Ini akan menjadi kali terakhirnya berkunjung ke makam Arza. Ia ingin menumpahkan seluruh keluh kesahnya kepada sang Kakak hari ini. Inaya hanya memiliki kesempatan terakhirnya untuk bangkit di hari ini.
°°°°
Akhirnya cerita ini menemukan endingnya( .◜‿◝ ).
Bagaimana? Ada komentar terkait ending?Ah, saya juga mau meminta maaf karena ternyata endingnya saya up lebih lama dari perkiraan:)
Sebagai gantinya, saya sudah pernah bilang kalau cerita ini memiliki ending terbuka 'kan? Yang artinya akan ada sequel dari cerita KAK! ini, dan sekarang lah, saya ingin memberikan kalian 2 cerita sekaligus!
Sequel yang saya janjikan, di sini main characternya ada 3 Rifda, Alvian dan.... yang satunya rahasia:)
Di sequel ini juga akan berfokus pada kehidupan 3 tokoh itu setelah kepergian Arza, dan sequel ini akan menjawab pertanyaan kalian tentang siapa yang menabrak Arza. Jangan lupa baca!cerita yang kedua ini memang tak ada sangkut pautnya dengan lanjutan cerita KAK!
Cerita ini hanya cerita baru yang saya rekomendasikan untuk kalian baca:pSegini saja, sampai berjumpa di cerita lainnya👋
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?