Untuk hari ini dan beberapa hari ke depan Arza harus tinggal berdua dengan Inaya. Ayah dan Mama tirinya pergi ke luar kota untuk mengurus bisnis Ayahnya yang terkena sedikit masalah, mereka berjanji akan kembali sebelum sekolah di mulai. Arza tentu saja tak peduli, bahkan jika mereka tak kembali sekalipun ia tak peduli.
Setelah merapikan sekilas penampilannya, Arza pergi menuruni tangga, hari ini ia berencana pergi ke rumah sepupunya untuk bermain game. Ya, walaupun bermain game dengan Alvian sama saja dengan uji mental, karena Alvian akan terus mengumpat dan mengeluarkan banyak sumpah serapah selama permainan, tapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada berdua di rumah bersama Inaya.
Arza memutar knop pintu, dahinya mengernyit heran. Kenapa ini? Pintunya dikunci? Arza berulang kali mencoba membuka pintu, tapi nihil, pintunya benar-benar dikunci. Arza berdecak, pasti ini ulah Inaya!
Ia beralih pada jendela, hasilnya sama, jendela itu tidak bisa dibuka. Tak putus asa Arza kembali ke kamarnya, ia berjalan ke arah balkon. Ya, Arza berniat melompat ke bawah. Tapi lagi-lagi harapannya sirna saat melihat pot tanaman yang terbuat dari tanah liat itu berjajar di bawah balkon kamarnya, sial.
Arza bimbang, haruskah ia melompat? Tapi ia bisa saja mati jika nekat. Ck, tapi ia juga tidak ingin berbicara dengan Inaya.
Setelah cukup lama bergelut dengan egonya, Arza sekarang sudah berada di depan kamar Inaya, dan rasa bimbangnya kembali lagi. Haruskah ia ketuk pintu? Atau langsung masuk saja? Arza bodoh! Bukannya sudah seharusnya ia mengetuk pintu? Kenapa harus mempermasalahkan hal sepele seperti ini.
Tok ... tok ... tok ...
Ketukan ke tiga dan tidak ada jawaban dari Inaya. Apa jangan-jangan anak itu sudah keluar rumah dan sengaja mengurung Arza di sini? Baru saja Arza akan kembali mengetuk, pintu dihadapannya terbuka dan menampilkan Inaya yang hanya menggunakan kaus hitam kebesaran dengan celana pendek sepahanya, rambutnya yang basah menandakan bahwa ia baru selesai mandi.
"Kenapa kak?" tanya Inaya bingung.
Arza berdehem sebelum berbicara. "Kunci rumah ada di lo?" Inaya mengangguk sebagai jawaban.
"Siniin kuncinya," pinta Arza sembari menyodorkan tangannya.
Inaya menggeleng. "Gak mau!" tolaknya.
Arza memincing tak suka mendengar jawaban Inaya, apa maksudnya tidak mau? "Cepat siniin, gue mau pergi!"
Inaya kembali menggeleng. "Gak! Kalau aku kasihin nanti kakak pergi ninggalin aku."
"Memang itu tujuan gue, lo pikir gue sudi berdua di rumah sama lo?" ketus Arza.
"T-tapi aku takut sendirian," cicit Inaya.
"Gue gak peduli! Siniin kuncinya!" bentak Arza, kesabarannya benar-benar dikuras habis oleh Inaya.
Inaya menangis, saat ini ia sedang sensitif, tamu bulanannya datang hari ini dan emosinya menjadi tak terkontrol.
Arza sungguh tak peduli dengan isakan Inaya. Ia tak peduli mau seberapa banyak air mata itu keluar, ia hanya ingin kunci rumahnya! Oh ayolah, apakah Inaya tidak bisa mempermudahnya saja?
"Ck, tinggal kasih kuncinya apa susahnya sih? Drama banget," kesal Arza.
Inaya semakin mengencangkan tangisnya. Arza mengacak rambutnya frustasi. Ia sungguh ingin mendorong Inaya ke tangga sekarang juga.
"Lo kenapa sih?! Gue cuma minta kunci bukan nyiksa lo!" ucap Arza frustasi. Oh ya Tuhan, Arza hanya ingin kunci rumahnya, ia sungguh tak berminat melakonkan drama bersama Inaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Ficção AdolescenteBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?