Inaya berjalan di koridor dengan kepala yang menunduk. Ia menghembuskan nafas, mengapa saat ini letak kelasnya terasa lebih jauh. Di samping kanan dan kirinya beberapa orang menatapnya tak suka, beberapa dari mereka membicarakan dirinya.
Sejak kejadian di kantin seminggu yang lalu, banyak orang mulai membenci Inaya. Mereka menganggap Inaya sebagai perempuan tak tahu malu yang berusaha mendekati Arza. Tapi setidaknya Inaya bersyukur karena peraturan sekolah yang sangat menentang pembullyan, sehingga tidak ada satupun murid yang berani melakukan tindakan bully. Jika saja sekolah tidak tegas, mungkin sekarang Inaya sudah menjadi salah satu korban bully.
"Gak pegal nunduk mulu?" Suara dingin itu menyapa gendang telinga Inaya.
Inaya mendongakkan kepala, wajah tampan Alvian menjadi objek pertama yang masuk indra penglihatannya.
"Gak usah mikirin mereka, mereka cuma gak tau lo siapa." ucap Alvi lagi.
Inaya tersenyum mendengar ucapan Alvi. "Memangnya aku siapa? Anak dari perusak rumah tangga orang?" Sebuah jitakan mendarat tepat dikepala Inaya setelah ia menyelesaikan ucapannya.
"Jangan menghina diri sendiri walaupun itu benar." Inaya tertawa, ia tak merasa sakit hati atas apa yang diucapkan oleh sepupu tirinya ini.
"Ah, satu lagi, mungkin lo udah muak dengar kata ini. Tapi, tolong maafin Arza tentang kejadian di kantin seminggu yang lalu."
Inaya hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Seperti apa yang Alvi katakan, ia sudah muak mendengar permintaan maaf Alvian dan Rifda, sedangkan pelaku sebenarnya tak pernah merasa bersalah.
Setelah melihat respon Inaya, Alvian berbalik arah menuju kelasnya. Alvi mengacak pelan surai hitam Inaya sebelum benar-benar pergi.
Alvi berada di kelas 12 IPA 2. Ya, Alvi berbeda usia satu tahun dengan Arza. Tapi, sepupu kurang ajarnya itu tidak pernah memanggil Alvi dengan embel-embel 'kak'.
Inaya memasuki ruang kelas yang tampak ramai, masih dengan menundukkan kepala. Tatapan tak suka yang teman sekelasnya berikan membuat ia risih, Inaya lebih suka saat mereka menganggap ia tak ada daripada mereka yang secara terang-terangan membencinya.
"Mau gue colok mata kalian satu-satu?!" Suara bentakan itu membuat mereka mengalihkan pandangan dari Inaya.
Inaya tersenyum, bersyukur Desi tidak ikut membencinya, walaupun ia khawatir Desi akan dibenci karena berteman dengannya.
"Kamu gak perlu bentak mereka." ucap Inaya saat Desi sudah duduk di sampingnya.
Desi hanya diam, ia menatap kesal Inaya yang masih bisa tersenyum disaat seperti ini, temannya ini selalu saja sangat baik. Desi sudah mendengar semua cerita tentang keluarga Inaya, dan menurutnya Arza adalah manusia paling tidak berperasaan.
°°°°
Arza menatap malas papan tulis yang berisi catatan tentang sejarah perang dingin, Arza sangat membenci pelajaran sejarah. Arza menelungkupkan kepalanya di meja, ia sangat bosan. Andai saja hari ini Rifda tidak izin, mungkin Arza akan menjahili gadis itu untuk menghilangkan bosan.
TAK!
Sebuah spidol mendarat tepat dikepala Arza. Ia meringis, manusia kurang ajar mana yang berani melempar spidol ke arahnya. Arza mendongakkan kepala, pandangannya jatuh pada seorang guru cantik dengan wajah yang kesal sedang berkacak pinggang berdiri di hadapannya
"Siapa yang izinkan kamu tidur di jam pelajaran saya?!" tanya bu Sonya dengan suara yang meninggi, sepertinya guru cantik itu benar-benar sudah kesal.
Arza diam tak menjawab, menurutnya ini bukanlah pertanyaan yang menbutuhkan jawaban, lagi pun jika ia salah bicara bu Sonya akan mengamuk dan masalah akan jadi lebih besar.
"Sekarang maju ke depan, jelaskan ulang apa yang sudah saya jelaskan!" titah bu Sonya.Arza menghembuskan nafas berat, bagaimana caranya ia menjelaskan jika dari tadi ia sama sekali tidak memperhatikan. Arza maju dengan langkah gontai, membaca sekilas tulisan di papan putih itu.
Arza baru akan mengeluarkan suara, tapi bel istirahat lebih dulu menginterupsi. Arza menghela nafas lega, sedangkan bu Sonya tampak kesal saat sesi menghukumnya terganggu.
"Lain kali jangan tidur di kelas lagi." peringat bu Sonya sebelum keluar kelas.
Arza berjalan keluar, tujuannya saat ini adalah kantin. Berjalan sendiri dengan tangan dimasukkan ke saku dan earphone berwarna biru yang menyumbat telinganya, terlihat menyedihkan, tapi Arza tidak peduli.
Setelah mendapatkan pesanannya, Arza segera mendudukkan diri disalah satu meja, hanya sendiri. Entahlah, sepertinya tidak ada yang berani mendekati Arza.
Inaya mengamati seisi kantin, mencari sosok Arza. Bibir tipis itu tersenyum saat melihat orang yang ia cari sedang makan siang seorang diri.
"Des, kamu makan sendiri ya. Aku mau bareng kak Arza." Tanpa menunggu jawaban Desi, Inaya pergi menuju tempat Arza. Desi hanya mendengus kesal, Inaya selalu meninggalkannya makan sendiri, tapi ia juga tidak berani jika harus ikut Inaya makan bersama Arza.
Tanpa izin Inaya mendudukkan dirinya ke kursi di depan Arza. Arza menatap datar Inaya yang kini berada di hadapannya. Arza berdiri, hendak pergi, tapi Inaya dengan cepat menahan pergelangan tangan Arza.
"Aku cuma mau makan sama kakak, aku gak akan ganggu kakak, janji." ucap Inaya sedikit memohon.
"Dengan adanya lo di sini udah ganggu gue." balas Arza ketus. Ia menepis kasar tangan Inaya.
"Duduk." Inaya dan Arza mengalihkan atensinya pada lelaki yang baru saja bersuara, Alvian. Tatapan yang Alvi berikan sama seperti tatapan Arza, dingin.
"Duduk, atau gue aduin ke om Danial." ancam Alvi.
Arza mengangkat sebelah alisnya, memandang remeh sepupunya yang kini sudah duduk tenang di samping Inaya. Apa Alvi pikir Arza takut dengan Ayahnya?
"Kalau lo gak mau motor lo disita dan uang jajan lo dipotong, lo duduk sekarang. Ingat, Ayah lo lebih sayang Inaya dibanding lo." Telak! ucapan Alvi benar-benar menusuk.
Arza menatap tajam Alvi, ia ingin sekali merobek mulut pedas sepupunya ini. Dengan berat hati Arza kembali duduk.
Suasana hening pun menyelimuti ketiganya. Inaya tak bersuara sama sekali, selain karena berjanji tidak akan mengganggu Arza, ucapan Alvi tadi juga sedikit membuat ia sakit. Inaya menyalahkan dirinya, karena kehadiran ia dan sang ibu, hubungan Arza dan Danial yang dingin semakin dingin, mereka seperti bukan Ayah dan Anak.
Alvi selesai lebih dulu, ia meninggalkan Arza dan Inaya, membuat suasana semakin canggung. Inaya hanya memandang Arza yang sedang makan, ia mengamati dengan seksama wajah kakak tirinya ini. Arza sangat tampan, tidak ada celah untuk mencela wajah Arza, ia seperti definisi dari sempurna.
Arza menghentikan makannya, ia menyadari Inaya yang terus menatapnya dan itu membuat ia risih. "Bukannya lo udah janji gak ganggu gue?" ketus Arza.
Inaya mengerjabkan matanya, kaget atas ucapan Arza barusan, ia baru sadar jika ia sudah memperhatikan Arza terlalu lama.
"Aku cuma liatin kakak, apa itu menganggu?" tanya Inaya.
"Semua yang lo lakuin itu mengganggu." ucap Arza dingin, kemudian meninggalkan Inaya. Ia membiarkan makanannya yang masih setengah, Alvi sudah pergi, jadi tidak ada alasan bagi Arza untuk melanjutkan makan siangnya bersama Inaya.
Inaya menghembuskan nafas, matanya sudah berkaca-kaca. Jika saja sekarang ia tidak sedang berada di kantin, ia pasti sudah menangis. Inaya memandang nanar punggung Arza yang perlahan menghilang dari kantin.
"Sudah satu tahun dan kakak masih sama." lirih Inaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?