13. Temui dulu Satu Kebahagiaan

439 66 6
                                    

Sudah terhitung 5 hari sejak Inaya menampar Arza. Sesuai dugaan, Arza menjadi semakin dingin, ia tak lagi membalas ucapan Inaya dengan nada kesal, ia benar-benar mendiamkan Inaya. Sungguh, Inaya merasa sangat bersalah, ia sudah mencoba berbagai cara untuk meminta maaf kepada Arza, tapi Arza tidak pernah mempedulikannya.

Inaya keluar kamar tepat saat seseorang di sebelah kamarnya juga membuka pintu, Inaya tersenyum cerah seperti biasa.

"Pagi kak," sapanya yang tentu saja tidak mendapat balasan.

"Kakak mau kemana?" tanya Inaya. Ya, walaupun ia tahu Arza pasti akan pergi ke rumah Rifda, karena memang hanya itu yang dilakukan Arza setiap hari. Jika tidak laki-laki itu akan mengurung diri di kamar, tak keluar walau sudah waktunya makan.

Arza pergi tanpa menghiraukan Inaya. Langkahnya menuruni anak tangga terhenti karena pemandangan yang benar-benar membuatnya muak --Ayah dan Mama tirinya yang terlihat sedang bersenda gurau di ruang tengah-- Arza menghela nafas, kemudian melanjutkan langkahnya, berusaha tidak mempedulikan mereka.

"Arza, mau kemana?" tanya Viana saat melihat anak tirinya itu melewati mereka begitu saja. Arza tetap melanjutkan langkahnya, menganggap sapaan Mama tirinya hanyalah angin lalu.

"Danafa Arza! Apa kamu tuli?" geram Danial.

Arza menghentikan langkahnya, memandang kesal Ayah dan Mama tirinya. "Apa?" ucap Arza malas.

Danial baru saja ingin menceramahi anaknya ini sebelum Viana menggeleng ke arahnya. Viana tak ingin ada perdebatan di pagi hari.

"Ada yang mau Mama dan Papa bicarakan, bisa duduk sebentar?" ujar Viana lembut.

"Gak, Arza sibuk," tolak Arza dan bersiap pergi, namun suara Ayahnya lebih dulu menginterupsi.

"Kamu masih ingat 'kan kalau Ayah punya hak untuk menyita motor kamu," ancam Danial.

Arza mendengus, kenapa selalu membawa motornya sih?! Dengan berat hati Arza mendudukkan diri di hadapan keduanya.

"Jadi, Mama dan Papa sudah sepakat untuk pembagian raport kamu dan Inaya besok. Papa akan mengambil raport Inaya sedangkan Mama yang akan mengambil raport kamu, gapapa kan?" jelas Viana.

"Gak perlu repot-repot tante-"

"Mama," tegur Danial. Mengingatkan Arza bahwa Viana bukanlah tantenya melainkan Mamanya.

Arza berdecak pelan, ia tetap melanjutkan ucapannya tanpa mempedulikan teguran Danial. "Raport Arza diambilin tante Elsa."

"Ah, begitu ya," ucap Viana sedih, ia menundukkan kepalanya. Ia merasa gagal menjadi Mama bagi Arza setelah melihat bagaimana Arza lebih memilih Elsa dibanding dirinya.

Danial menatap tajam Arza yang terlihat biasa aja, padahal ucapannya barusan telah melukai perasaan seseorang yang sudah resmi menjadi Mamanya.

"Kenapa harus Elsa? Dia bukan Ibu kamu!" bentak Danial. Dia tidak pernah bisa mengendalikan emosi jika berhadapan dengan Arza, anaknya sendiri.

"Dia juga bukan Ibu Arza," ucap Arza seraya memandang remeh Viana, tanpa sengaja matanya menangkap Inaya yang berdiri di ujung tangga. Bagus jika anak itu mendengar.

"Arza! Kamu-"

"Apa? Arza benar, dia memang istri Ayah, tapi dia bukan Mama Arza," potong Arza.

Danial berdiri, tangannya sudah terangkat berniat menampar wajah Arza tapi dengan cepat ditahan oleh Viana.

"Kenapa ditahan? Biarkan saja, Arza baru mendapat tamparan di pipi kanan lima hari yang lalu. Jadi biarkan Ayah mengimbanginya di pipi kiri," ucap Arza seraya menepuk-nepuk pelan pipi sebelah kirinya.

KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang