Arza sudah siap dengan seragam sekolahnya. Terhitung sudah 3 minggu sejak hari dimana Arza mengatakan akan berusaha menerima Inaya dan Viana. Arza tentu saja menepati ucapannya, walaupun awalnya ia sangat canggung, sebenarnya... sampai sekarang pun masih.
Arza memang canggung dengan Viana, tapi tidak dengan Inaya. Mereka berdua menjadi semakin dekat layaknya adik kakak kebanyakan.
"Kak Arza! Kalau udah selesai cepat ke bawah, sarapan!" teriak Inaya dari luar pintu kamar Arza. Seperti sekarang ini contohnya. Inaya tak perlu lagi bertingkah sopan seperti kepada orang lain. Dia akan berteriak atau menyelonong masuk ke kamar Arza jika dirinya mau.
Dan Arza tentu saja kesal dan memarahi Inaya, lalu Inaya akan meminta maaf, namun tetap mengulangi lagi. Lihat. Mereka seperti adik kakak sungguhan 'kan?
Sesuai perintah Inaya, Arza turun menuju ruang makan, bergabung dengan Inaya, Ayah dan Mama tirinya.
Arza menarik kursi di samping Inaya, mendudukkan diri tanpa mengucapkan basa-basi seperti 'selamat pagi'. Arza belum terbiasa untuk itu.
Viana yang melihat anak tirinya bergabung, ingin menyendokkan nasi goreng untuk Arza, namun ia urungkan saat Arza justru menarik selembar roti tawar.
Arza yang menyadari pergerakan Mama tirinya, meletakkan kembali roti tawar itu. Menyodorkan piringnya ke arah Viana. "Arza juga mau," ucapnya.
Bukan hanya Viana yang bingung, tapi juga Danial. Mereka menatap Arza dengan kening berkerut.
"Arza juga mau nasi gorengnya, Ma," ulang Arza.
Danial dan Viana semakin linglung saat Arza memanggil 'Mama'. Mereka tentu senang, tapi siapa yang tidak heran?
"Arza pegal, Ma." Arza kembali bersuara. Viana cepat-cepat mengisi piring Arza dengan nasi goreng. "Makan yang banyak," ucapnya. Arza tersenyum sembari mengangguk.
Danial melanjutkan sarapannya, berusaha abai tentang Arza, walaupun dalam hati dia berharap kalau sikap Arza barusan adalah pertanda bahwa anaknya itu sudah menerima Viana dan Inaya.
"Ah, Inaya. Papa minta maaf, hari ini Papa ada meeting pagi-pagi sekali. Berangkat dengan supir tidak pa-pa?" celetuk Danial.
"Inaya berangkat sama Arza," sela Arza.
"Kakak bukannya berangkat sama Kak Rifda, kan?" tanya Inaya.
"Hari ini gue sama lo," ucap Arza. Masih fokus dengan sarapannya.
Kening Inaya mengernyit. "Terus Kak Rifda gimana?"
"Dia punya supir." Inaya merasa seperti deja vu dengan ucapan Arza. Benar, dulu awal masuk SMA Arza juga mengatakannya, tapi untuk dirinya.
Diam-diam Danial mengulum senyum. "Baiklah. Kalau begitu Papa berangkat dulu." Danial bangkit, dan seperti biasa, dia akan mencium kening Viana singkat sebelum pergi. Sejujurnya Arza belum terbiasa dengan adegan seperti ini, tapi apa boleh buat.
Setelah selesai dengan acara sarapannya, Arza segera bangkit. "Ayo berangkat," ajaknya pada Inaya.
Inaya mengangguk, meneguk susunya hingga tandas, kemudian bangkit mengikuti Arza.
"Ekhem!" tegur Mama. Inaya berbalik, lalu menyengir tanpa dosa. Dia lupa mencium tangan Mamanya!
Inaya meraih uluran tangan Mamanya, mencium telapak tangan itu singkat sebelum beralih mengecup pipi Mamanya. Sedangkan Arza terlihat sedang bingung, entah apa yang dipikirkannya. Pada akhirnya Arza turut mendekat, kemudian mengulurkan tangannya canggung.
Viana dan Inaya mengernyit bingung dengan tingkah Arza. "Salaman," ucap Arza sangat pelan, nyaris seperti cicitan.
Viana yang mengerti segera mengulurkan kembali tangannya, yang disambut dengan baik oleh Arza. Walau terlihat ragu tapi Arza benar-benar melukannya, membuat Viana tak bisa lagi menyembunyikan bagaimana bahagianya dia. Viana mengusak gemas pucuk kepala Arza. "Belajar yang benar, ya," peringatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?