Pagi hari biasanya digambarkan dengan suasana tenang, dibarengi kegiatan monoton, seperti sarapan bersama lalu berangkat sekolah. Namun, pagi Arza kali ini berbeda, pagi yang tenang sedikit kacau karena Arza sibuk grasak grusuk, mengacaukan isi kamar. Mulai dari mencari sepatu, seragam, buku, tas dan lainnya. Tak jarang segala macam umpatan keluar dari bibir Arza. Alsannya hanya satu, ia kesiangan! Arza hanya memiliki waktu 15 menit untuk tidak terlambat.
"Ini penjahit seragamnya gimana, sih! Ngasih kancing baju banyak banget!"
"Ini siapa yang bikin sepatu? Talinya susah banget diikat!"
"Ini lagi! Siapa yang masang paku di sini? Tas gue nyangkut, sialan!"
Kira-kira begitulah gerutuan Arza pagi ini. Setelah selesai, Arza buru-buru turun menuju bagasi tempat motornya, mengabaikan teriakan Mama tirinya yang meminta ia sarapan lebih dulu.
Arza mengendarai motor dengan ugal-ugalan, mengabaikan sumpah serapah para pengguna jalan, yang ia butuhkan sekarang hanyalah sampai di sekolah secepatnya! Tetapi sepertinya sial menimpa Arza hari ini, walaupun sudah memperpendek jarang tempuh yang biasa 25 menit menjadi 10 menit, Arza tetap harus menelan pil pahit kala melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat.
Di depannya tampak pak Iqbal -guru bk- berdiri dengan rotan di tangannya. Arza menghela nafas, ia tak memiliki kesempatan untuk sekedar masuk lewat gerbang belakang. Dengan langkah lunglai Arza mendekati pak Iqbal, menghadap guru yang sedari tadi sudah menatapnya tajam.
"Maaf pak, saya terlambat," ucap Arza.
Pak Iqbal mencebik. "Tanpa kamu kasih tahu, saya juga tahu kamu terlambat."
Pak Iqbal lantas menyuruh Arza diam di tempat, sembari menunggu siswa lain yang mungkin terlambat, tapi sia-sia, 10 menit berlalu dan tidak ada satu pun murid yang terlambat kecuali Arza. Hal itu membuat Arza protes dalam hati, baginya ini tak adil. Saat ia tak terlambat, ada 2 sampai 3 murid yang terlambat, saat ia terlambat, tak ada satu pun orang kecuali dirinya.
"Kamu ikut ke ruangan saya, sekarang!" titah pak Iqbal. Arza menghela nafas kasar, mengikuti langkah pak Iqbal dengan enggan.
Setelah mendapat wejangan dan omelan panjang dari pak Iqbal, Arza pikir itu sudah berakhir, tapi ternyata tidak! Pak Iqbal tetap menghukumnya untuk hormat di tiang bendera sampai jam istirahat, dan itu masih sekitar satu jam lagi! Sialan sekali.
Padahal ini pertama kalinya Arza terlambat. Di sinilah Arza sekarang. Berdiri di tengah lapangan, dengan sinar matahari yang menyengat, kepalanya sedikit mendongak, dan tangan membentuk hormat. Arza harus bertahan dalam posisi itu tanpa bergerak, karena pak Iqbal mengawasinya.
Beberapa murid yang berlalu lalang, entah ke perpustakaan, ruang guru, atau toilet. Pasti menyempatkan diri untuk menonton Arza yang tengah dihukum. "Norak," cibir Arza dalam hati.
°°°°
Di dalam kelas, Rifda sama sekali tak fokus pada pelajaran. Ia terus mengamati Arza yang sedang dihukum. Dirinya khawatir, terlalu banyak mendapat sinar matahari tidaklah bagus. Bagaimana jika saat ini Arza belum makan sama sekali? Atau bagaimana jika dia dehidrasi lalu pingsan? Oh sial, Rifda tak ingin membayangkannya.
"Lagian kenapa bisa terlambat, sih? Gak biasanya," gumam Rifda pelan.
Rifda mendecak berkali-kali, mengapa jam lambat sekali bergeraknya? Saat Rifda akan kembali protes pada waktu, suara bel istirahat lebih dulu menggema. Mengundang helaan nafas lega dari siswa-siswi yang sudah kelaparan. Setelah memberi salam, dan guru keluar dari kelas. Rifda segera bangkit, menuntun langkahnya keluar kelas dengan sebotol air mineral digenggamannya. Pandangannya tertuju pada Arza yang sedang diceramahi kembali oleh pak Iqbal.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?