Hai, long time no see! Udah 3 bulan ya? Maaf, saya mempunyai cukup kesibukan dan kesulitan mengatur waktu, membuat cerita ini jadi terbengkalai.
Akhirnya saya bisa menyelesaikan part ini:) walau dengan berbagai kendala. Ah, maaf karena cerita ini saya tulis tanpa revisi, tolong maklumi jika ada typo ya! Jika ada waktu nanti saya revisi.
Terima kasih untuk pernah dan masih membaca cerita saya!
so, enjoy your read!
°°°
Seminggu berlalu setelah kepergian Arza. Namun suasana sedih masih menyelimuti, perasaan kehilangan masih kental terasa. Bukan hanya untuk Ayah, Inaya, Rifda dan Alvian, tapi bagi semua orang yang mengenal Arza. Kepergiannya terlalu tiba-tiba dan yang paling menyakitkan adalah fakta bahwa Arza pergi di hari ulang tahunnya sendiri.
Kepergiannya yang meninggalkan luka, penyesalan, dan kesedihan mendalam. Arza pergi tanpa sempat mendengar maaf dari sang Ayah, Arza pergi tanpa pernah merasakan dekapan hangat kasih sayang seorang Ayah, Arza pergi tanpa pernah bisa mendapatkan cintanya.
Hari itu, Arza yang ingin menemui Bunda, benar-benar dikabulkan Tuhan untuk berjumpa dengan Bunda. Jadi, Tuhan sangat baik 'kan?
Seperti pepatah, penyesalan selalu berada di akhir. Danial kembali mendapat penyesalan di saat sang pemberi sesal telah tiada, pergi menuju pangkuan Tuhan. Lagi dan lagi, ia ditinggal tanpa sempat mengantongi kata maaf. Andai dirinya tahu, ia tak akan menunda waktu untuk meminta maaf, ia tak akan memikirkan ego dan gengsinya. Dirinya akan segera berlutut meminta ampun saat itu juga.
Namun nasi sudah menjadi bubur. Puluhan kata sesal, ratusan permohonan dan ribuan kata maaf, sudah tak ada gunanya lagi. Kini, yang Danial dapat lakukan hanyalah mengurung diri di kamar Arza sembari merenung.
Sudah seminggu lamanya Danial tak keluar dari kamar Arza. Tak nafsu makan, jarang tidur dan tak melakukan apapun. Ia hanya duduk termenung. Berimajinasi jika anaknya masih di sini. Mendekap hangat baju terakhir sang anak, memandang penuh binar setiap foto yang terpajang di kamar. Foto Arza bersama Ika, foto Arza kecil menaiki sepeda, dan foto Arza bersama Rifda. Danial kembali merasakan penyesalan karena tak pernah ikut andil dalam pertumbuhan anaknya, bahkan ia tak memiliki satupun kenangan indah bersama Arza.
Danial kembali menangis. Dia menyesal, amat sangat menyesal.
°°°°
Lain Danial maka lain pula Inaya. Memang ia terlihat melakukan aktifitas seperti biasa. Sekolah, membersihkan rumah, tak lupa menyiapkan kebutuhan sang Ayah yang masih mengurung diri. Namun siapa sangka, setiap malam Inaya menangis menyalahkan dirinya. Andai saja saat itu ia tak berkata kasar pada Arza, andai saja ia menahan saat sang Kakak akan keluar rumah. Andai, andai dan Andai. Kata yang membuatnya terus menyalahkan diri.
Setiap pagi Inaya tak pernah absen mengunjungi makam Arza untuk meminta maaf, seperti saat ini. Dipandangnya nisan dengan tulisan Danafa Arza.
"Maaf , Kak. Maaf. Semua ini salah aku, maaf, Kak." Dengan air mata yang perlahan jatuh membasahi pipi, Inaya terus menggumamkan kata maaf.
"Kak, maaf sudah bersikap kasar. Maaf karena membuat Kakak sedih. Maaf, karena aku Kakak pergi." Tangannya terangkat untuk mengusap lembut nisan Arza.
Dengan pandangan menyendu, Inaya kembali berkata, "Kak, aku malu bertemu mereka. Aku malu bertemu Ayah, Kak Alvi dan Kak Rifda. Aku merasa bersalah pada mereka, Kak. Karena aku, Ayah kehilangan anak laki-lakinya, Kak Alvian kehilangan adiknya dan Kak Rifda kehilangan sahabatnya. Andai mereka tahu, apa mereka akan membenciku?" Pertanyaan itu berlalu tanpa jawaban. Inaya menunduk, air matanya semakin deras. Dadanya sesak, beban yang sangat berat seakan menindihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔
Teen FictionBagaimana jika seorang Danafa Arza yang hidup tanpa kasih sayang sang Ayah, justru jatuh cinta pada adik tirinya sendiri?