11. Menjemput Rasa Sakit

539 68 7
                                    

"Persamaan garis yang melalui titik a dan b adalah x per a ditambah y per b sama dengan satu. Atau bx ditambah ay sama dengan ab. Garis H sama dengan tiga koma nol dan nol koma sembilan. Jadi-" Arza menghentikan ucapannya. Ia menghela nafas kasar.

Sudah dua jama lamanya ia mengajari Rifda matematika, dan selama itu pula Rifda terus-terusan tertidur, mungkin yang ini sudah kesekian belas kalinya. Entahlah, Arza tak menghitung.

Sudah dua jam, dan mereka masih membahas tentang Pertidaksamaan Linear Dua Variabel. Rifda benar-benar menghambat proses belajar Arza!

Arza bangkit, berjalan menuju balkon kamar Rifda, ia lebih memilih menikmati angin sore daripada membangunkan Rifda. Matanya tak sengaja menangkap pemandangan yang tak mengenakkan. Di bawah sana, tepatnya di halaman depan rumah Arza, terdapat satu keluarga yang sedang bergembira. Entah apa yang dilakuan mereka bertiga, berpiknik? Terserahlah, Arza tidak peduli.

Tapi ternyata tubuh Arza lebih jujur daripada dirinya. Air mata Arza tanpa permisi mengalir, membasahi pipi tirus itu. Tak banyak memang. Arza segera menyeka air matanya. Bohong jika ia tidak iri, ia sungguh iri dengan apa yang didapatkan Inaya. Kasih sayang seorang Ayah yang sejak dulu Arza damba.

Tanpa sadar otaknya mulai memutar memori kehidupan Arza, membandingkan dengan apa yang Inaya dapatkan selama satu tahun ini. Inaya selalu diantar sekolah oleh sang Ayah, sedangkan Arza tidak pernah. Sederhana memang, tapi Arza sungguh ingin.

Arza tidak pernah disayang. Tentu saja, ia anak yang dihasilkan secara tidak sengaja, bukan? Dalam artian dia adalah anak yang tak diharapkan. Arza berdecak kesal, kenapa ia selalu menangisi hal yang tidak penting? Sudah tujuh belas tahun, Arza seharusnya sudah terbiasa.

"Lemah," cibirnya pada diri sendiri.

Karena mood yang berubah buruk, Arza memilih pergi ke rumahnya. Bukan, bukan untuk mencari masalah, ia hanya ingin berbaring sembari memandangi foto Bundanya yang ia pajang di kamar. Jadi, mari doakan Arza pulang dengan selamat tanpa ada perdebatan antara ia dan sang Ayah.

Arza membereskan buku-bukunya lalu melangkah keluar, ia membiarkan Rifda yang tertidur di meja tempat mereka belajar, Arza tak ada niat sedikit pun untuk memindahkan Rifda ke ranjang. Biarlah besok gadis itu mengamuk karena lehernya sakit, salah sendiri tidur saat Arza sedang menjelaskan.

Arza berdiri di depan gerbang rumahnya, sebelum membuka pintu gerbang ia menarik nafas sejenak, menenangkan diri agar tidak terpancing nantinya. Ia melangkah masuk, suara tawa hangat tiga orang itu menyambut kedatangan Arza. Tapi tidak saat mereka melihat Arza masuk, semua diam, tak ada yang berusara lagi. Kenapa mereka bertingkah seperti orang yang ketahuan sedang membicarakan orang lain?

Arza tak peduli, tujuannya hanyalah cepat kembali ke kamar, tidak ada yang lain. Arza tetap melangkahkan kakinya masuk, mengabaikan tatapan tajam yang Ayahnya berikan.

"Masih ingat pulang? Saya pikir kamu sudah pindah menjadi bagian dari keluarga Rifda," sindir Danial.

"Kalau bisa, aku ingin," batin Arza.

Arza tak membalas, ia tetap melangkah masuk, menganggap apa yang Ayahnya ucapakan hanyalah angin lalu. Tapi sepertinya Danial sudah terpancing, ia menatap nyalang Arza yang tak memberi respon.

"DANAFA ARZA! DI MANA SOPAN SANTUN MU?! SAYA SEDANG BERBICARA DENGAN KAMU!" bentak Danial. Sepertinya ia jadi mudah tersulut emosi jika itu berkaitan dengan Arza.

Inaya bergetar ketakutan, ia bahkan hampir menangis. Sedangkan Viana mencoba menenangkan suami dan anaknya, ia merengkuh tubuh Inaya, dibawa dalam dekapannya, mengusap lembut punggung sang anak. Tangan satunya ia gunakan untuk menggenggam telapak tangan sang suami, ia memberi usapan lembut, berharap emosi Danial berangsur-angsur sirna.

KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang