Sisi seorang Hendrick

282 28 7
                                    

"Kenapa dia ada disini?."

"Kenapa? Memang seharusnya aku ada disini kan?ayo cepat kita sudah terlambat, kalian ini katanya tentara tapi tidak ada jiwa kedisiplinan yang kalian terapkan."

" Hey! Tolong jaga bicara anda ya, kau berhutang penjelasan besar kepada kami," ucap kabul.

Hendrick hanya menggedikkan bahu acuh, setelah perdebatan panjang dirinya dengan Lasmi semalam, akhirnya wanita itu mengalah, membiarkan dirinya ikut berperang melawan dai Nippon yang tengah menyiapkan pembantaian besar di tengah kota. Namun, perintah Hendrick menyuruh Lasmi untuk tinggal sementara waktu di rumah Kirana, jelas Lasmi tolak dengan gelengan penuh.

Terakhir kali, dirinya bertemu dengan Kirana hanya ada kenangan pahit yang menyergap dirinya. Dia tidak mau merepotkan Kirana, membuat Kirana dalam keadaan bahaya karena suaminya yang temperamental itu tentu tak akan mau menerima dirinya yang sudah dicap di seluruh desa bahkan kota bahwa dirinya adalah wanita murahan yang menyerah pada garis kehidupan, kemudian memilih menjadi budak seks serdadu Belanda.

Padahal, anggapan mereka salah besar.

Manusia tidak bisa memilih dimana hati akan dilabuhkan, Tuhan tidak melihat kasta, derajat, atau apapun untuk memberikan cintanya kepada hamba hambanya.

Jadi, jika manusia berkata tidak mungkin. Namun Tuhan telah berkata bahwa dia adalah jodohmu. Mulut sampah mereka tentu tidak bisa merubah takdir sang penggerak semesta.

"Pergilah, aku tidak masalah ditinggal sendirian di hutan belantara seperti ini. Rasa kesetiaan ku, kujunjung tinggi untukmu Hendrick. Jangan khawatirkan aku. Kita bukan Tuhan kan yang mampu menebak takdir? Berjuanglah, jika kita memang berjodoh, kau tetap akan menemukan aku dalam keadaan baik disini setelah perangmu selesai. Aku tak mau kehilangan cintaku untuk kedua kalinya, hanya karena perasaan egoisku. Pergilah sayang, keturunan kita harus mengecap manisnya kebebasan, tanpa perlu merasa sakitnya penindasan. Satu yang perlu kau tahu, aku selalu mencintaimu."

Ucapan Lasmi tadi selepas mereka melakukan shalat berjamaah Shubuh, selalu terngiang ngiang ditelinganya. Sorot mata teduh penuh ketulusan namun menyimpan sejuta kekhawatiran menghujam pas dianak mata Hendrick, Lasmi mengalah. Setelah berhasil membuat Hendrick naik pitam dan menggertaknya, Lasmi sadar. Hidup di zaman penjajahan memang penuh pilihan, semua orang harus berjuang, tentu dengan kapasitas dan cara mereka masing-masing. Dan Lasmi putuskan, caranya ikut ambil alih dalam perjuangan bangsanya, ialah merelakan cintanya pergi memperjuangkan kemerdekaan yang seharusnya diraih.

Bahkan, kecupan lembut Lasmi masih terasa sangat nyata sekarang, walaupun kini ia sudah tidak bersama wanita manis itu. Argh pesona wanita itu memang besar. Hendrick dibuat kelimpungan olehnya.

"Hendrick, kau tidak boleh terlalu menonjol dalam perang ini. Kau harus pintar pintar berklamufase dalam keributan yang akan terjadi nanti," perkataan Amir, berhasil membuat Hendrick bangun dari lamunannya, ia menoleh Amir sekilas.

Rombongan mereka kini telah sampai di jalan setapak di tengah hutan yang akan menghubungkan mereka dengan perkampungan kemudian kota.

"Ik begrijp het¹," Ucap Hendrick singkat.

Hendrick menggunakan penyamaran dengan menggunakan baju lusuh dan kulit yang sengaja dibuatnya hitam menggunakan arang, juga topi caping yang setia menutupi rambut emas gelapnya. Dilihat dari sisi manapun orang akan tahu Hendrick bukan orang pribumi asli, tapi,setidaknya orang akan menganggapnya anak  Indo yang terbuang.

Kini, rombongan itu telah sampai di tengah kota, Amir menuntun mereka ke suatu tempat dengan melewati banyak gang yang bekelok hingga perjalanan panjang itu mengantarkan mereka pada rumah kosong bergaya khas kolonial Belanda, mungkin pemilik rumah telah habis dibantai Nippon, pikir mereka.

Cinta Di Langit Hindia BelandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang