Senja

443 44 6
                                    

Surabaya, 27 Desember 1941.

Bumi bersama planet lain berotasi mengitari sang Surya, menciptakan perubahan waktu ke waktu, hari bertambah bulan, dan bulan bertambah tahun.

Tak terasa enam bulan sudah usia pernikahan pasangan berbeda latar belakang itu, banyak pertikaian dan kejadian namun hal itulah yang membuat bumbu dalam kisah percintaan mereka di tengah kemelut kekejaman penjajah.

Hendrick sudah mengetahui alasan Lasmi berbicara seperti itu tempo lalu, alasan bahwa dulunya Amir adalah masa lalu Lasmi. Mendengar hal itu membuat Hendrick sedikit gundah, perasaan takut kehilangan dan rasa takut Lasmi akan berpaling selalu menghampiri apabila Amir datang berkunjung, kedekatan mereka yang dilambangi persahabatan tak membuat Hendrick berhenti untuk cemburu. Namun rasa cemburu tak mengalahkan logika nya, dia hanya diam dan bungkam.

Setengah hari mereka habiskan untuk berkebun di ladang, kadang ke sawah kadang juga ke kebun. Pagi hari ketika udara masih sejuk mereka berangkat, saat menjelang petang mereka akan pulang.

Sungguh dunia sekarang berbalik seratus delapan puluh derajat bagi kehidupan Hendrick, yang biasanya bergelimang harta, kesenangan dan kemudahan, kini harus hidup sederhana dan bersusah payah mengais rezeki demi keberlangsungan hidupnya dan istrinya.

Ketika musim panen tiba, Hendrick dan Lasmi akan menjual hasil bumi mereka ke pasar, tentunya dengan Hendrick yang menyamar. Memakai pakaian lusuh, kulit yang dibalurkan arang, dan topi caping nya. Namun tetap saja, bukti ras nya yang berbeda dengan pribumi tetap saja mencolok walau sedikit tersamarkan.

" Cacingggggg !!!," Lasmi berteriak sembari menghentak hentakkan kaki dengan kepala yang menggeleng dan tubuh yang berjingkat jijik.

Hendrick tertawa kecil," tubuh mu lebih besar dari binatang itu Lasmi, bukan kamu yang takut padanya, tetapi dia yang takut kepada raksasa besar seperti mu," kata Hendrick sembari menanam bibit kentang.

Lasmi membulatkan matanya, mulutnya menganga tidak percaya, aishhh suami siapalahh ini," heh! Enak saja! Badan ku yang kecil seperti ini dikatakan raksasa! Iya, raksasa ! Raksasa kecil dan imut. Mulut mu pedas sekali seperti wanita !."

Lasmi duduk dibawah rerimbunan pohon bambu, sembari menselonjorkan kaki nya. Kemudian membuka bekal mereka yang dibalut kain terikat, Hendrick mendekat kemudian hendak mencomot sepotong tempe, namun segera ditepis Lasmi hingga meninggalkan bekas kemerahan di punggung telapak tangan laki laki berdarah Belanda itu.

Hendrick mengusap punggung tangannya yang terasa nyeri, menatap Lasmi dengan pandangan mengiba seperti anak kecil, namun dibalas Lasmi dengan pelototan galak.

" Cuci tangan mu dulu Hendrick! Jorok sekali kau ini !," Lasmi berkata sembari mengarahkan kendi yang berisi air ke tangan Hendrick.

Selesai mencuci tangan, mereka segera makan dengan beralaskan daun pisang, bukan makanan mewah tentunya, hanya beberapa potong ubi kayu, dan tempe beserta sambalnya. Tidak memungkinkan mereka memakan nasi, sedangkan mereka belum menuai panen dari sawah.

Bisa saja sebenarnya, mereka tetap hidup mewah dengan dibantu Amir, namun jiwa prajurit dan laki laki Hendrick melarangnya, sudah kewajibannya menafkahi keluarga nya, bukan dari bantuan orang lain, namun jerih payahnya sendiri.

Sudah terlalu banyak Amir membantu, sebenarnya Lasmi juga sedikit tidak enak hati, itulah mengapa alasan mereka mengatakan kepada pembantu di rumah, untuk tidak usah memasak, cukup membersihkan rumah. Karena hampir seharian mereka habiskan di ladang tidak memungkinkan untuk membersihkan rumah juga.

Lasmi menatap dalam Hendrick yang sedang mengunyah makanannya, jakun nya bergerak ketika laki laki itu menelan makanan yang sudah di gilas dengan gigi gigi nya. Hendrick mengambil kendi kemudian mengarahkan ke mulutnya yang terbuka lebar, lalu menenggak airnya, membuat jakun nya yang menonjol naik turun.

Cinta Di Langit Hindia BelandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang