⌛- Perdebatan

373 63 87
                                    

Perdebatan adalah langkah awal untuk sebuah hubungan yang langgeng.
...

Hari berlalu dengan cepat. Tanpa disadari kini waktunya untuk sesi pemotretan pranikah.

Afara telah menghubungi Zivian untuk mendatangi kediaman rumahnya. Afara merasa lebih baik berbicara secara langsung dibandingkan lewat via WhatsApp.

Lagipula Afara kesal dengan balasan chat dari Zivian. Apa tidak ada kata lain yang bisa dia ketik selain y, hm, oh, tdk, srh. Benar-benar ngajak gelut!

Huft.

Afara menghela napas. Mulai menyiapkan mentalnya saat mendengar suara ketukan pintu.

"Iyaa, sebentar!" teriak Afara sambil melangkah mendekati gagang pintu.

Ceklek!

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, masuk." Afara membuka pintu, memberikan ruang untuk Zivian melangkah masuk.

Afara membawa Zivian ke ruang tamu. Di mana ada ayah, mama, ayara dan calonnya yang sedang menunggu kedatangan Zivian.

"Ayah, ini fotografer yang Afara katakan waktu itu." Afara mendudukkan diri di samping Shinta.

Dito mengangguk paham. "Duduk, Nak."

Zivian mengangguk. "Jadi pemotretan akan dilakukan di mana?"

"Menurut saya sawah---"

"--- No! Aku mau pemotretannya di pantai," ujar Afara memotong perkataan Zivian.

Zivian menoleh. "Kenapa harus pantai? Sawah lebih indah, lagipula pantai terlalu biasa dan sudah di gunakan oleh ribuan pengantin," jelas Zivian mencoba membuat Afara mengerti.

Ayara mengangguk setuju. "Benar apa yang dikatakan Zivian. Sawah kayaknya menarik. Bukan begitu mas Rama?" Ayara menoleh pada calon suaminya.

Ramadhani Kusuma Maulana menoleh. "Benar, sawah lebih menarik."

Afara menggeleng tidak setuju. "Pantai lebih bagus!"

Zivian menatap Afara. "Sawah!"

"Pantai!"

"Sawah!"

"Pantai!"

"Sawah!"

"Pan---"

"--- Udah diam, yang mau menikah itu kakak kamu, bukan kamu. Begini saja kita gunakan latar sawah untuk pranikah dan pantai untuk pernikahan. Setuju?" tanya Shinta mencoba menghentikan perdebatan diantara keduanya.

Jika ditelisik lebih dalam, mereka berdebat seakan-akan ini adalah pernikahan mereka berdua. Benar-benar aneh.

Afara dan Zivian mengangguk. "Setuju!"

Ayara berdehem usil, bermaksud menggoda adiknya itu. "Ciee barengan. Jodoh nih yee."

Afara memutar bola mata malas. "Dih huek, mual saya kak."

Dito tersenyum tipis. Namun, tidak ada salahnya menjodohkan keduanya ... tetapi, sudahlah satu pernikahan saja belum selesai mengapa dia ingin merencanakan sebuah pernikahan lagi?

"Sudah-sudah, kalian ini. Di mulai saja, bagaimana jika sawahnya dari pedesaan yang asli? Bukankah itu dapat menambah kesan asri dan segar daripada sawah buatan?" tanya Dito pada Zivian.

Zivian mengangguk. "Tentu."

...

Afara turun dari mobil. Di tatapnya persawahan yang sangat asri tersaji dengan indah di hadapannya.

Hamparan sawah dengan langit orange memang perpaduan yang menarik. Perjalanan ke pedesaan memakan waktu lama.

Namun, bukan menjadi masalah besar. Mereka tiba bersamaan dengan datangnya sinar matahari senja.

Afara memandang Ayana dan Rama dari kejauhan. Keduanya sangat terlihat cocok. Namun, semoga saja keduanya memiliki pemikiran yang sama tentang bayi.

"Afara, tidak mau berfoto sambil menunggu Ayana dan Rama selesai pemotretan?"

Afara menoleh pada Dito. "Mau Ayah, tetapi nggak ada yang potoin."

"Yah kasihan, ya udah Ayah mau selfi sama mama." Dito melangkah pergi begitu saja meninggalkan anaknya.

Afara memanyunkan bibir kesal. "Ayah selalu seperti itu. Hanya bertanya setelah pertanyaan terjawab dia lantas pergi. Ayah nyebelin!"

Afara menatap matahari yang kian terbenam.

"Cantik," ujar Afara memandang kagum dengan ciptaan Allah bernama senja.

"Iya, senja memang cantik."

Afara menoleh mendengar suara pria di sampingnya. "Sudah selesai?"

"Alhamdulillah sudah, keduanya sedang berganti pakaian. Mau saya foto?" tanya Zivian menawarkan jasa pada Afara.

Afara menyipitkan mata mendengar tawaran yang sangat aneh. Bukankah keduanya tidak pernah akur? Mengapa tiba-tiba ingin memberikan bantuan.

"Kalau tidak mau ya sud---"

"--- mau!" ujar Afara memotong ucapan Zivian.

Zivian tersenyum tipis. "Berdiri di sana, berdiri tegak dan arahkan wajahmu menyampingi kamera."

Afara mengangguk paham, mulai mengatur gaya.

"Diem. Tetap pada posisi itu."

1 ... 2 ... 3 ...

Cekrek!

"Manis."

...

Heyyoooww!
Tinggalkan jejak ya. 🐣

#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia

Cahaya Bulan April [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang