⌛- Lagi

385 67 47
                                    

Pertemuan pertama ada untuk saling mengenal fisik sedangkan pertemuan kedua ada untuk mengenal pribadi masing-masing lebih dari fisik.
...

"MAHIRA!"

Mahira menoleh mendengar namanya. "APA?!" teriak Mahira sebagai balasan.

Zia menatap keduanya dengan pandangan prihatin. "Astaga. Jarak kalian hanya beberapa bangku saja. Lalu, kenapa kalian saling memanggil dengan teriakan yang astagfirullah. Apa kalian waras, heh?" tanya Zia yang duduk di bangku pojok belakang.

"Tidak." jawab keduanya spontanitas.

Zia menggeleng heran. "Kalian berdua jodoh. Sok, mangga, lanjut berduaannya mau ikut abang balapan. Toh, kelas udah selesai lima menit yang lalu."

Tanpa babibu lagi, Zia melangkah keluar ruangan dengan tangan berada di saku.

Afara menatap kagum Zia. "Kalau di lihat-lihat Za macco juga. Coba aja dia cowok, dah kugebet. Iya nggak, Hir?"

"Bodoamat. Aku juga mau pulang, lagian ngapain sih kita di sini?" Mahira segera merapikan peralatannya dan berdiri dari duduk.

"Mau pulang nggak? Kalau nggak kutinggal," ujar Mahira.

Afara berdecak. "Mau pulang lah, masa mau di sini ampe magrib. Eh, Hir soal fotografer itu. Gimana kalau hari ini aja kita negosiasi ama dia?"

Mahira memutar-mutar kunci yang ada di tangannya. "Boleh juga, biar cepat prosesnya. Ya udah, yuk. Nanti kita bahas aja di mobil."

Afara mengangguk. Keduanya mulai meninggalkan ruangan.

...

"Rumah yang mana, Hir?" Afara celingak-celinguk mencari rumah yang Mahira maksud.

Mahira menunjuk rumah bercat putih dan abu-abu. "Noh, yang itu. Coba ketuk pintunya. Barangkali orangnya ada di rumah."

Afara menoleh pada Mahira. "Temenin kutakut," ucap Afara dengan puppy eyes miliknya.

"Ya elah, biasanya juga berani. Masa gini doang nggak bisa? Mana Afara yang pemberani? Udah sana, aku mau mandi. Kalau udah negosiasinya mampir kerumah jangan langsung pergi."

Setelah mengucapkan rentetan kalimat itu, Mahira segera pergi berjalan ke rumahnya yang tak jauh dari tempat Afara berdiri.

Afara melongo melihat Mahira melengos begitu saja. Apa jurus puppy eyes miliknya sudah tidak berfungsi lagi?

"Lah? Woy!" teriak Afara. Namun, tak sedikitpun Mahira berniat menghentikan langkahnya.

Afara menghela napas dan mulai berjalan mengetuk pintu. Semoga saja rumah ini memiliki penghuni.

Rumah ini terlihat seperti rumah seorang pria. Benar-benar datar, hanya hitam dan putih. Jika ini rumah Afara, dia akan memberikan cat warna-warni agar rumahnya bisa terlihat ceria seperti dirinya.

"Halo mba? Kenapa bengong di depan pintu?"

Afara gelagapan, merasa malu dengan dirinya sendiri. Aishh, pertemuan pertama yang memalukan.

"Halo Tante, Afara mau nanya. Boleh?"

Wanita itu mengangguk. "Tentu, kenapa tidak?"

Afara mengaruk leher, menutupi kecangunggan yang tercipta antara dirinya dan wanita anggun di hadapannya.

"Apa tanyakan saja. Mau cari fotografer ya?"

Mata Afara berbinar, spontan mengangguk semangat. "Benar Tante, kata Mahira temen saya yang kebetulan tetangga Tante ngasih info ke saya kalau di rumah ini ada seorang fotografer. Apa itu bener, Tante?"

Wanita itu tersenyum. "Bener, masuk dulu yuk. Nggak baik ngomong di depan pintu."

Afara mengangguk patuh. "Baik Tante."

"Ngomong-ngomong Tante yang berprofesi sebagai fotografer itu Tante?"

Wanita itu menggeleng. "Bukan tante, tapi anak tante. Duduk dulu, bentar ya tante panggil Zivian."

Afara mengangguk. Duduk tenang menunggu anak tante baik itu.

"Kamu?"

Afara mengangkat wajahnya. Menatap cengo pemuda di hadapannya. "Loh?"

"Ngapain?" tanya pemuda. Pemuda itu mendudukkan dirinya di sofa single tepat di hadapan Afara.

Afara memutar bola mata malas. Pertanyaan macam apa itu. "Lagi ngitung duit hasil ngepet," jawab Afara ngasal.

Wanita yang dipanggil tante oleh Afara datang membawa nampak berisi minuman dingin.

"Terima kasih Tante." Afara segera mengambil minuman itu tanpa di suruh. Dirinya sangat haus. Lagipula dia tamu, tidak apa bukan?

"Itu punya saya."

Afara melotot dengan mulut yang hampir saja menyemburkan minuman. Untung saja masih ada kata 'hampir'

Semalam Afara telah memberikan berbagai petuah pada mulutnya untuk tidak menyemburkan minuman sembarangan.

Namun, sial dia lupa memberikan petuah kepada tangannya untuk tidak asal menyerobot. Benar-benar memalukan.

Siapapun itu. Tolong bunuh Afara sekarang juga!

...

Heyyoooww!
Tinggalkan jejak ya. 🐣

#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia

Cahaya Bulan April [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang