Kehidupan setiap orang berbeda. Jangan pernah menyamakannya. Kamu bukan dia dan dia bukanlah kamu. Tetap pada porsi masing-masing jangan mengurus yang bukan urusanmu.
...
"Assalamualaikum semuanya, Afa udah pulang."
Afara melepas sepatu dan menyimpannya di tempat yang telah disiapkan. Jika tidak, mama akan terus mengoceh melihat sepatu yang berantakan.
Direbahkan badannya untuk melepas penat dan lelah sepulang dari kampus.
Pikiran Afara kembali mengingat pertanyaan spontan dari Mahira. Apa benar dirinya diuntit?
Ah, itu tidak mungkin benar. Dari penampilannya, pemuda itu tidak terlihat seperti penjahat. Bahkan, sangat dingin. Bagaimana bisa menjadi jadi seorang penguntit? Pertanyaan Mahira memang tidak masuk akal.
"Sudah pulang?"
Afara menoleh kebelakang. Dilihatnya paras wanita paruh baya yang telihat sangat anggun diusianya yang telah masuk kepala tiga.
Shinta Shilvia ikut duduk di samping anaknya. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala sang putri yang terbungkus jilbab hitam.
"Gimana soal kuliah kamu? Dosennya galak? Tahun ini kamu bentar lagi wisuda, jangan malas-malasan buat skripsi," ujar Shinta menasehati putrinya.
Afara memanyungkan bibirnya. Ayolah Afara juga tau ini tahun terakhir, tetapi Afara tidak ingin membahas tentang skripsi. Dirinya sangat lelah konsultasi sana-sini dengan pembimbingnya.
Namun, yang di katakan mama kepadanya ada benernya juga. Ini sudah semester akhir, dia harus lulus tahun ini dengan nilai memuaskan. Lalu, menikah dengan pria pilihan ayahnya.
Afara menoleh saat teringat akan sesuatu. "Bagaimana dengan pernikahan kak Ayara? Apa calon suaminya itu sudah sedikit waras?"
Shinta mengibaskan tangannya. "Hust! Nggak boleh gitu, bagaimanapun juga dia adalah pria pilihan kakak kamu. Kamu boleh tidak menyukainya, tetapi jangan terlalu nampak. Bagaimana jika calon Ayara merasa tidak nyaman?"
Afara menggulir bola matanya malas. "Karena itu aku tidak ingin menikah dengan pria pilihan Afara. Aku tau, pilihanku tidak ada yang waras. Lebih baik aku menikah dengan pria pilihan ayah atau tidak sama sekali."
Shinta menggeleng heran dengan kelakuan putri bungsunya. Benar-benar menyebalkan seperti ayahnya. "Ya sudah, terserah kamu saja. Sana mandi, terus makan. Awas aja mama dimarahi oleh ayah karena melihat kalian tidak terurus."
Afara bangkit dari rebahannya. Sebenarnya dia tidak rela, tetapi dia lebih tidak rela jika mama dimarahi oleh ayah karena dirinya.
Ah, ayahnya sangat menyebalkan. Bagaimana bisa dia tau berat badan seseorang turun sekilo dengan hanya pandangan mata? Apa mata ayah mempunyai timbangan badan tak kasat mata?
"Kenapa lagi? Udah sana mandi, bau apek." Shinta mengibaskan tangannya sambil menutup hidung.
Afara mengangguk. "Baik Mamaku tersayang yang harumnya ngalahin parfum bunga melati."
Setelah mengatakan hal itu, dengan segera dirinya lari dari hadapan sang mama. Dia masih sayang nyawa, tetapi hari tanpa menggoda mama itu tidaklah seru.
"Udah pulang?"
Afara menoleh pada sumber suara. Dilihatnya Ayara Shilviana Candrawinata yang tak lain adalah kakaknya sedang berjalan turun.
"Ngapain manggil?" jawab Afara cuek.
Ayara berjalan mendekat. "Emangnya salah nanya sama adek sendiri. Afa, kamu kenapa sih nggak suka sama Mas Rama?"
Afara menghela napas. "Aku nggak suka ngelihat kakak yang ngemis cinta seorang laki-laki seperti dia. Kak, masih banyak laki-laki diluaran sana yang lebih baik dari dia. Kenapa kak Aya kekeh mau nikah sama dia? Dia aja nggak ada tuh semangat-semangatnya ngurus pernikahannya sendiri. Malah yang aku lihat, cuman kakak yang bersemangat buat mempersiapkan pernikahan. Aku nggak mau kakak terluka."
Afara mengalihkan pandangannya, tak ingin melihat raut sedih dari Ayara. "Ah sudahlah kak, aku mau ke kamar dulu. Capek."
Sebelum melangkah ke atas, Afara menoleh pada Ayara. "Kalau capek itu bilang. Jangan diam seolah semuanya baik-baik aja. Padahal nyatanya tidak."
...
Heyyoooww!
Tinggalkan jejak ya. 🐣#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Bulan April [Selesai]
Romance• Third Literary Works • *** Zivian menghela napas. "Kamu salah paham. Saya dan Ara sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kamu lupa? Ara sudah menikah." Afara mengangguk. "Aku ingat, tetapi tidak ada yang mustahil." "Kamu benar, tidak ada yan...