🎡 Awalnya kukira kau akan menuruti diriku. Namun, sepertinya aku lupa dengan siapa aku menikah🎡
...
"Aku nggak mau ya A'a ngerokok." Afara melipat kedua tangannya menatap netra sang suami.
Afara mengatakan hal demikian bukan tanpa alasan. Pasalnya Afara baru saja membaca sebuah artikel jika ibu hamil tidak boleh terpapar asap rokok. Hal itu tidak baik untuk kesehatan sang bayi dan ibunya.
"A'a nggak bisa lepas dari rokok, Afa." Zivian berjalan mendekat dan memeluk sang istri yang tengah hamil empat bulan.
"Tetapi A'a janji tidak akan merokok di dekatmu. Otomatis kamu nggak akan menghirup asap rokok dan Zigot bakal baik-baik aja," ujar Zivian berusaha membujuk Afara.
Afara menggeleng dengan bibir manyun. "Tapi, bagaimana dengan kesehatan A'a? Ngerokok itu nggak baik A'a. Afa tadi baca artikel, perokok pasif dan perokok aktif sama-sama berdampak buruk bagi kesehatan. Afa nggak mau ya A'a sakit," ujar Afara membalas pelukan Zivian. Menenggelamkan wajahnya di dada sang suami.
Zivian mengelus rambut Afara. "A'a baik-baik aja Afa, kamu tau sendiri 'kan A'a nggak bisa lepas dari yang namanya rokok. Sehari pasti A'a harus ngerokok dan itu udah kebiasaan. Bagaimana bisa A'a berhenti melakukannya?"
Afara memukul dada Zivian. "Bisa! Pasti bisa, bisa karena terbiasa. A'a harus terbiasa tanpa rokok, apa A'a nggak bisa nurutin kemauan Afa?"
Zivian menghela napas. Rasanya dia ingin sekali menghajar pembuat artikel itu, sebelumnya Afara tidak pernah mempermasalahkan dirinya merokok. Namun, sekarang setelah membaca sebuah artikel istrinya langsung tidak menyukai dirinya merokok.
Zivian terbiasa merokok semenjak sekolah menengah atas. Rokok adalah kebutuhan baginya, bagaimana bisa dia menghentikan kebiasaan yang telah dia jalanin selama bertahun-tahun?
"A'a kenapa diam? Okay, kalau bukan untuk Afa, lakukanlah demi diri A'a sendiri. Merokok nggak baik A'a, dari yang Afa baca rokok juga termasuk salah satu jenis narkotika. A'a mau 'kan berhenti merokok?"
Zivian menunduk dan memgecup rambut hitam legam milik sang istri. "Maaf Afa, A'a nggak bisa."
Mungkin pengaruh dari kondisinya yang tengah hamil, Afara lebih sulit untuk mengendalikan emosi. Bulir kristal dari pelupuk mata Afara siap untuk meluncur kapan saja.
"Kenapa nggak bisa?" tanya Afara dengan suara yang parau. Afara semakin menenggelamkan wajahnya di dada sang suami.
Zivian terkejut merasakan dadanya terasa basah. "Kamu menangis?"
Afara menggeleng dan semakin menenggelamkan wajahnya hingga kesulitan untuk bernapas.
Afara tidak suka menangis. Namun, semenjak hamil dia selalu menangis untuk hal-hal sepele seperti ini.
"Maaf. Jangan nangis, A'a nggak suka."
Afara menangis sesenggukan. Dia hanya ingin suaminya selalu sehat. Dia tidak ingin suatu saat nanti harus mendengar kabar jika suaminya sakit akibat kebiasaan merokok. No! Afara tidak ingin hal itu terjadi.
"Maaf, jangan nangis, nanti Zigot juga ikut nangis."
Tangisan Afara pecah. Dia tidak ingin anaknya ikut menangis tetapi, kenapa air matanya seakan terus saja meluncur dengan deras.
"Sssttt. Udah ya, A'a nggak bisa. Jangan buat A'a berada dalam keadaan dilema seperti ini," ujar Zivian berbisik di telinga Afara dengan lembut.
Afara menarik dirinya menjauh dari Zivian. Dia melihat lurus keluar jendela. Bulan bersinar dengan cerah seakan tengah menyaksikan dua insan yang di hadapkan pada kondisi sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Bulan April [Selesai]
Romance• Third Literary Works • *** Zivian menghela napas. "Kamu salah paham. Saya dan Ara sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kamu lupa? Ara sudah menikah." Afara mengangguk. "Aku ingat, tetapi tidak ada yang mustahil." "Kamu benar, tidak ada yan...