⌛- Afara

676 99 69
                                    

Hidup terlalu rumit untuk dipahami alurnya.

...

"Afara!"

Afara Dishya Aletta Candrawinata atau yang kerap disapa Afara, menoleh mendengar teriakan dari sahabatnya. "Why?" teriak Afara.

Sahabat Afara yang tak lain adalah Zia berlari mendekat. "Mau ke mana heh? Lupa kalau hari ini masih ada kelas tambahan?"

Afara menggeleng bingung. "Loh? Sejak kapan ada kelas tambahan? Fakultas hukum emang ada tambahan kelas?"

Zia mengangkat bahu acuh. "Mana gue tau, noh tanya aja sama Mahira kalau nggak percaya," ujar Zia seraya menunjuk pada Mahira yang berjalan santai tanpa memperdulikan terik matahari yang menyengat kulit.

"Mahira buruan jalan itu bukan karpet merah woy," ujar Zia kesal menunggu Mahira yang berjalan sangat lamban.

"Kita aja yang ke sana, nungguin dia bakal lama." Afara menarik lengan Zia.

"Hir, emang ada kelas tambahan?" tanya Afara penuh harap. Semoga saja jawabannya adalah tidak. Dia sangat malas kuliah jika cuaca tidak bersahabat dengan kulitnya.

Mahira menggeleng. "Nggak ada, yang bilang ada siapa emangnya?"

"Noh si Zia." Tunjuk Afara pada Zia.

Zia hanya bisa mengaruk kepala merasa bingung. Semalam dia ngapain ya? Mendadak otak Zia hilang.

"Yaudah deh, yuk pulang. Malas gue di sini. Papay semuanya. Mau main sama abang dulu." Zia melambaikan tangan dan mulai berjalan menjauh mencari kesegaran di dalam mobil. Namun, sebenarnya dia malu dan memilih menghindar dari ledekan keduanya.

"Zia, bilang sama abang dapat salam dari Mahira!" teriak Afara tanpa beban yang berhasil membuatnya jadi pusat perhatian.

Mahira melotot, spontan menutup mulut Afara yang sangat cerewet. "Diam! Gue nggak mau ya, abang jadi ilfeel sama gue. Soal perasaan gue, biarkan tetap menjadi rahasia. Untung aja si Zia udah masuk mobil. Udah yuk pulang."

Mahira menarik lengan Afara, membawanya ke parkiran. "Nggak bawa mobil 'kan?  Gue tebengin aja, buru masuk."

Afara terkekeh. "Awh, tau aja lu. Makasih."

Afara masuk ke mobil dan duduk diam menunggu si pemilik untuk menjalankan mobil membelah jalan.

"Hir, tau nggak?"

Mahira yang sedang menyimpan tasnya di jok belakang, menoleh mendengar pertanyaan Afara yang aneh. "Buset pertanyaan lu nggak masuk akal, hir tau nggak? Nggak lah dul 'kan belum di kasih tau."

Afara terkekeh. "Bener juga, tapi kan ya gue basa-basi dulu elah.  Masa langsung intinya," ucapnya membela diri.

"Ya, ya. Jadi apa yang tidak kuketahui?" tanya Mahira dengan mata yang berpusat pada jalanan. Jika tidak, mobil akan menabrak dan mereka akan meninggal. Kesalahan sepele yang membawa dampak besar.

"Saudara gue bentar lagi nikah, cuman gue bingung masalah foto priwedding."

"Nyari tukang fotografer yang bagus itu di mana sih? Bingung gue kesana kemari, nggak nemu-nemu. Bantuin dungs." Afara menoleh pada Mahira meminta tanggapan.

"Bentar gue mikir dulu." Mahira mengetuk-ngetuk jarinya. "Ah gue tau, kebetulan di samping rumah gue ada cowok yang suka foto-foto gitu. Mungkin aja dia fotografer."

"Woaah, tapi masih ada kata mungkin." Afara berdecak menatap langit. "Sebenarnya gue malas ngurus masalah pernikahan Kak Ayara. Gue nggak suka sama calonnya. Nggak srek gitu, Hir."

"Inalillahi yang nikah kan mereka. Ngapain lu yang nggak srek? Aneh lu."

Afara menghela napas. "Gue emang aneh, tapi lebih aneh pemuda yang gue tabrak tadi pagi. Tau nggak? Masa nih ya, tanpa gue sebut di mana gue kuliah dia langsung tau? Tadi pagi gue ngerasa aneh cuman gue lupa anehnya di mana. Sekarang baru inget. Aneh nggak sih?"

Mahira menoleh takut pada Afara. "Apa jangan-jangan dia penguntit?"

...

Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak yawww.

#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia

Cahaya Bulan April [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang