Untuk apa menutupi sebuah masalah? Apa ketidaktahuanku dapat menyelesaikan masalah? Kenapa tidak kau beritahukan saja? Bukankah, kita berdua dapat menyelesaikannya bersama-sama?
...Afara berjalan ke dapur di mana seluruh keluarga telah berkumpul untuk makan malam.
"Malam Ayah, Mama, kak Ayara dan semuanyaa." Afara mengambil tempat duduk berhadapan dengan Ayara.
Dito Bagus Candrawinata, selaku kepala keluarga hanya bisa menggelengkan kepala. "Kenapa kamu suka boros kata? Bilang saja, selamat malam semuanya. Tidak perlu menyebut satu-satu. Anak ini, tidak pernah berubah."
Afara tersenyum tengil menatap Ayahnya. "Memangnya kenapa? Ayah juga seperti itu. Sayangku, anakku, menantuku dan malam untuk semuanyaa," ucap Afara sambil menirukan nada bicara sang ayah.
"Iya, iya. Tetapi, anak dan ayah itu berbeda. Jangan ngebantah ucapan orang tua. Bagaimana jika pemborosan kata itu ikut terbawa saat kamu mengetik skripsi?" tanya Dito menantang.
Afara memanyunkan bibirnya. "Oh ayolah Ayah, kenapa kalian terus membahas skripsi dan skripsi. Afara tidak ingin mendengarnya lagi, sangat menyebalkan."
"Tapi, yang dikatakan Ayah ada bener juganya, Afa," ucap Ayara menimpali.
Shinta mengelus rambut hitam Afara. Afara hanya memakai hijab saat ada orang lain di rumah dan juga saat keluar rumah. Selebihnya dia melepaskannya.
"Sudahlah, mari kita makan. Nggak baik mengobrol di depan makanan. Kita harus menghargai makanan," ujar Shinta menasehati.
"Nah, bener. Afara setuju!"
....
Selepas makan, keluarga Afara selalu berkumpul di ruang televisi untuk membahas hal remeh temeh.
Kebiasaan sederhana yang mampu meningkatkan keharmonisan sebuah keluarga. Ayah Afara memang jarang menghabiskan waktu bersama mereka. Namun, Afara dan Ayara tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang dari Ayahnya.
Dito dan Shinta benar-benar memerankan tugas sebagai orang tua dengan sangat baik.
"Afa, bagaimana dengan fotografer pernikahan kakak kamu. Udah ketemu?" tanya Dito sambil menyeruput kopi hitam yang telah disiapkan istrinya. Benar-benar istri idaman.
Afara menoleh dan mengangguk. "Udah Ayah, rencananya besok Afara mau bertemu langsung dengan orang yang Mahira sarankan."
"Baiklah itu bagus. Lalu, bagaimana dengan calonmu Ay? Apa dia sudah persiapkan segalanya?"
Ayara menoleh. "Iya, kami juga udah fitting baju dan memesan aula pernikahan. Oh iya Ayah, mas Rama bilang keperluan lainnya akan di urus oleh keluarganya karena dia sedang sibuk dengan pasiennya," jelas Ayara tak ingin membuat orang tuanya khawatir.
Dito mengetuk-ngetuk meja. "Benar 'kah begitu? Sepulang dari kantor, Ayah tak sengaja melihatnya bersama seorang wanita dewasa di sebuah kafetaria. Apa itu rekan kerjanya?"
Ayara menautkan jari jemarinya. "Iya, mungkin saja."
Melihat suasana yang tak lagi sehat membuat Afara segera beranjak dari duduknya. "Afara ke kamar dulu ya, selamat malam semuanya."
Shinta menatap bingung putrinya. "Kenapa terburu-buru?"
Afara menoleh. "Besok Afara ada kelas pagi. Afara pamit."
Afara tau segalanya. Dia tidak ingin mengungkapkannya sebelum ada bukti yang pasti.
Huft!
Jika dugaannya benar. Afara akan membenci calon kakaknya dan juga semua laki-laki di luaran sana yang selalu menyembunyikan segalanya.
Ayara tak habis pikr. Kenapa laki-laki saat ada masalah mereka menutup diri dengan menjadi laki-laki yang bersikap dingin nan tak sentuh?
Apa dengan begitu, kami kaum perempuan akan menjauh begitu saja? Yang ada, kami kaum perempuan sangat penasaran dengan pria dingin. Penuh misteri dan rahasia.
Ah tetapi, Afara tidak. Dia lebih menyukai pria yang terbuka. Sudahlah, disaat yang tepat Afara akan memberitahu Ayara tentang rahasia mas Rama yang dia tutup rapat-rapat dari semua orang. Namun, sialnya Afara tak sengaja mengetahuinya saat membuang sampah dipagi hari.
....
Heyyoooww!
Tinggalkan jejak ya. 🐣#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Bulan April [Selesai]
Romance• Third Literary Works • *** Zivian menghela napas. "Kamu salah paham. Saya dan Ara sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kamu lupa? Ara sudah menikah." Afara mengangguk. "Aku ingat, tetapi tidak ada yang mustahil." "Kamu benar, tidak ada yan...