Dan permainan takdir berbanding terbaik dengan prinsip yang kupegang.
....
Hari berlalu dengan cepat. Misi melupakan telah Afara jalani selama seminggu. Sampai hari ini tidak ada masalah yang dia hadapi, hanya saja Afara mulai goyah saat tidak sengaja melihat foto profil WhatsApp Zivian.
Oh, ayolah. Kenapa Zivian harus memasang foto itu? Foto dirinya menatap tajam pada kaca. Benar-benar membuat hati Afara tak karuan.
Ini salah. Sangat salah, tidak seharusnya dia goyah.
"Afara!"
Afara menoleh. "Ada apa, Ma?"
"Dia di luar. Temuin gih, nggak baik kayak gini. Ini udah seminggu, kalian sama-sama keras kepala. Tetapi, dia lebih memilih menyampingkan keras kepalanya demi kamu. Udah jangan kayak gini, sana temuin," ujar Shinta mencoba memberi pengertian pada putrinya itu.
Afara menatap keluar jendela. Di luar sangat dingin. Pertengahan bulan april, hujan selalu turun membasahi bumi seakan dunia tau bagaimana suasana hatinya saat ini.
"Ayo!"
Afara mengangguk, menyetujui ajakan Shinta. "Iya, Ma. Afara ambil jilbab dulu." Afara menyimpan buku yang dia pegang.
Menatap pada lemari. Pilihannya jatuh pada jilbab coklat. Selain bulan, dia pecinta warna coklat.
"Udah?"
Afara mengangguk. Mengikuti langkah Shinta menuju tempat Zivian berada.
Shinta berhenti melangkah. Dia hanya mengantar Afara sampai ruang tamu.
"Mama antar sampai di sini aja, gih sana." Shinta mendorong Afara untuk terus berjalan hingga teras di mana Zivian sedang menunggu.
"Assalamualaikum," sapa Afara.
Zivian berbalik. "Waalaikumsalam, kenapa menghindar?"
Afara menggulingkan bola mata sebal. "Basa-basi dulu kek, apa gitu. Ini langsung main inti aja."
"Saya nggak suka basa-basi. Kamu sudah berhasil membuat saya uring-uringan. Cepat jelaskan, kenapa kamu mempermainkan saya?"
Afara melongo. "Duduk dulu ayo, agaknya kamu kekurangan obat."
Zivian menurut dan duduk di bangku yang berada di teras rumah. "Saya serius, jangan menggantungkan saya seperti ini."
"Saya juga serius. Duduk dulu, kalem dan mulai." Afara menarik napas dan menghembuskannya.
Afara berdehem. "Jadi ... kakak bertanya kenapa saya seperti ini? Menurut kakak karena apa?"
"Karena Ara?" tanya Zivian tidak yakin.
Afara mengangguk. "Benar sekali, aku tidak menjauh. Aku hanya ingin kakak meluangkan waktu lebih lama bersama kak Ara, muehehe." Afara terkekeh menahan perih di lubuk hatinya.
Zivian menghela napas. "Kamu salah paham. Saya dan Ara sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kamu lupa? Ara sudah menikah."
Afara mengangguk. "Aku ingat tetapi, tidak ada yang mustahil."
"Kamu benar, tidak ada yang mustahil. Bahkan, mencintaimu secepat ini adalah sebuah kemustahilan."
Afara melongo dan menatap bingung. Apa pria ini tidak bisa berbasa-basi? Mengucapkan semuanya secara gamblang sangat tidak baik untuk kesehatan jantung Afara.
"Ha?"
"Dasar lola. Kenapa disaat seperti ini, otak kamu mendadak hilang?"
Afara menggaruk kepala bingung. Sebenarnya dia paham, cuman dia tidak ingin terlalu percaya diri. Mungkin saja dia salah dengar.
"Tidak percaya?"
Afara mengangguk. "Benar, aku tidak mempercayainya."
"Allah maha membolak-balikkan hati. Jodoh pasti bertemu dan saya menemukanmu. Apa boleh kamu memberikan 30 menit untuk menunjukkan keseriusan saya?"
"30 menit? Untuk apa?" tanya Afara linglung.
"Melamar dirimu."
Afara lagi-lagi melongo. "T-tapi, aku mau move on."
"Kamu tidak mencintaiku?"
Afara mengangguk tanpa sadar. "Tidak, aku mau move on."
Zivian terkekeh pelan. "Mulut dan perbuatanmu berbeda. Jadi, yang benar apa?"
Afara menggigit jari bingung. Moveon atau menikah? Mana yang dia harus pilih. Afara memicingkan mata. "Apa kakak benar-benar mencintaiku?"
"Apa saya terlihat sedang bercanda?"
Gawat!
Afara tidak boleh berbalik. Dia harus move on tetapi, kenapa Zivian menggoda dirinya?!
Afara kudu ottoke?
...
Heyyoooww!
Tinggalkan jejak ya. 🐣#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Bulan April [Selesai]
Romance• Third Literary Works • *** Zivian menghela napas. "Kamu salah paham. Saya dan Ara sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kamu lupa? Ara sudah menikah." Afara mengangguk. "Aku ingat, tetapi tidak ada yang mustahil." "Kamu benar, tidak ada yan...