Jangan berpikiran aneh. Saya melakukannya karena keadaan yang memaksa.
...
Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib berkumandang. Afara menoleh pada Zivian, satu-satunya harapan yang dia miliki untuk kembali ke kota dengan selamat.
"Mau kemana?" tanya Afara bingung, melihat Zivian berdiri dari duduknya.
Zivian merapikan pakaiannya. "Sholat."
"Aku ikut," ujar Afara memegang ujung baju Zivian.
Zivian berdehem. Mereka berdua berjalan seperti ayah dan anak. Afara mendadak berubah menjadi penurut dan polos.
"Jangan kemana-mana. Tunggu saya keluar dari masjid dan menjemputmu di sini."
"Iya kak."
Mereka berdua berpisah di tempat wudhu. Selepas berwudhu, Afara meminjam kerudung shalat yang di sediakan pengurus masjid untuk orang yang bepergian jauh sepertinya.
Sepuluh menit, Afara habiskan untuk sholat berjamaah di masjid. Entah siapa yang mengimami, Afara tidak dapat mengetahuinya karena tirai pembatas.
"Aamiin." Afara melepas kerudung dan melipatnya dengan rapi.
"Masya Allah, dia pemuda dari desa ini?"
"Tampan banget Din, cocok sama anak saya."
"Tapi, kayaknya dia bukan orang desa sini."
"Ah, masa sih, Din? Nggak mungkinlah. Lihat pemuda itu, begitu gagah sangat pas dengan anak saya."
"Anak saya lebih cocok dengan pemuda itu."
Afara menoleh mendengar bisikan ibu-ibu yang berkumpul dengan tirai pembatas terbuka setengah. Afara penasaran dan berusaha mengintip pemandangan yang menjadi topik panas ibu-ibu rumpi.
"Ada apa lihat-lihat?" tanya nyolot salah satu ibu-ibu itu pada Afara dengan nada tak suka.
Afara mengaruk leher, merasa aneh di pandangi dengan tatapan seperti itu. Lagipula, kenapa bola mata ibu-ibu yang bertanya padanya seperti akan lepas dari kelopak mata. Benar-benar melotot dan menyeramkan!
Tak ingin membuat masalah. Afara segera keluar dari masjid, bertepatan dengan Zivian yang juga melangkah keluar.
"Kak!" teriak Afara spontan mengundang perhatian ibu-ibu rumpi.
"Loh? Perempuan itu kenal dengan calon mantu saya?"
"Mereka suami istri?"
"Astagfirullah, sudah beristri ternyata."
Afara hanya tersenyum kikuk mendengar desas-desus tentangnya. Ingin membantah tetapi, dia sangat malas mencari keributan.
"Sudah?"
Afara mengangguk. "Sudah kak."
"Ya sudah, ayo pergi dari sini." Zivian mulai melangkah. Spontan Afara memegang ujung baju Zivian. Afara Mengekor di belakang Zivian.
"Apa kakak berniat meninggalkanku di sini?" tanya Afara.
Zivian menunduk menatap Afara. "Kenapa berpikiran seperti itu?"
"Kakak sendiri yang bilang, tidak mungkin mengajakku pulang bersama dan kini hari sudah gelap."
"Begitu? Apa saya terlihat sejahat itu?" Zivian menghela napas kasar.
Tanpa basa-basi lagi, Zivian segera menarik tangan Afara yang terbalut kain baju untuk ikut bersamanya pulang dengan mobil.
Ya! Zivian terpaksa melakukannya. Zivian masih punya rasa kemanusiaan, tidak mungkin Zivian meninggalkan Afara di pedesaan seperti ini.
"Kakak mau membawaku kemana?" tanya Afara berusaha menyamakan langkahnya dengan Zivian, pemilik kaki panjang.
"Pulang."
"Ha?" Afara menatap Zivian bingung. Apa maksudnya dengan pulang? Bagaimana caranya?
"Bagaimana caranya?" tanya Afara menyeruakan kebingungannya.
Zivian berhenti di samping mobilnya. Dia menatap Afara dengan kesal. "Jangan banyak bertanya. Ayo pulang, perjalanan ke kota membutuhkan waktu yang lama."
Tangan Afara berhenti menyentuh pintu mobil. "Tapi kak, bukankah seharusnya orang yang pertama kali duduk bersama di dalam mobil itu adalah istri kakak?"
"Benar. Tetapi, keadaannya berubah."
Afara menunduk, ini semua salahnya. Dia telah menghancurkan harapan seorang pria untuk istrinya kelak. "Maaf."
Zivian berdehem. Membuka pintu mobil dan tak ingin terus berdiri di luar mobil.
"Masuk."
Afara mengangguk tanpa banyak membantah. Tak ada yang memulai percakapan dalam perjalanan ke kota. Keadaan mobil benar-benar hening. Bahkan suara musik pun tidak terdengar.
...
Heyyoooww!
Tinggalkan jejak ya. 🐣#mekarbatch2 #mekar2021 #mekar #menuliskarya #20hari #rpli #rumahpenaliterasiindonesia
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Bulan April [Selesai]
Romance• Third Literary Works • *** Zivian menghela napas. "Kamu salah paham. Saya dan Ara sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kamu lupa? Ara sudah menikah." Afara mengangguk. "Aku ingat, tetapi tidak ada yang mustahil." "Kamu benar, tidak ada yan...