04: Mereka Juga Mati

49 16 2
                                    

Abaikan kasus culik menculik, Xinlong lanjut berjalan. Pakaian lusuhnya tidak menjadi sorotan di antara seragam zirah Kwong. Jadi, Xinlong tidak takut nantinya ada yang membawa dia. Tujuan Xinlong berkeliling adalah untuk mencari informasi tentang istana atau yang lain. Karena setahu Xinlong, di setiap ada kerumunan pasti ada pembicaraan.

"Hati-hati. Kamu bisa bersembunyi di belakangku jika takut," tawar Dianjia sedari tadi.

Akhirnya Xinlong menoleh, "Lebih baik kalian yang bersembunyi di belakang aku."

"Tapi kamu terlalu pendek untuk menutup kita," komentar Dianjia jujur, serius, dan polos. Izinkan Xinlong untuk memukul Dianjia sekali saja.

Meski begitu, Dianjia dan Annchi masih mengekori Xinlong yang juga berjalan tanpa tujuan. Hingga tanpa sengaja kaki Dianjia menendang sesuatu. Sebuah kantong kecil dengan lambang Kekaisaran Kwong.

"Ini, apakah ini, ini apa?" Dianjia bergumam tak jelas. Memandang sekantung penuh uang tembaga sambil bergetar.

"Itu milik Prajurit Kwong," bisik Annchi memberitahu. Dianjia mengangguk, setelah itu menarik tangan Annchi dan mengajak Xinlong.

"Kita bisa makan enak!" seru Dianjia senang ke arah mereka berdua. Tangan Xinlong menahan baju belakang Dianjia, "Letakkan kembali, jangan sekalipun berurusan dengan Prajurit Kwong." Annchi mengangguk setuju.

"Sebentar saja, kita menikmati sup mie kari kuning," ajak Dianjia keras kepala. Kantung uang dia lempar, lalu tangkap kembali. Ia melakukannya secara berulang-ulang. Tangan kanan masih menggandeng Annchi menuju satu tempat makan. Sementara kepalanya menoleh ke belakang, memastikan Xinlong mengikuti mereka. Tetapi yang terjadi, ia menabrak punggung seseorang berlapis zirah keras.

"Aww!" rintih Dianjia, memegang wajah ngilu.

"Dianjia, hati-hati," kata Annchi khawatir. Kekhawatiran Annchi bertambah begitu mengetahui siapa yang Dianjia tabrak. Ia menoleh, menatap Dianjia dan Annchi garang.

"Ah ampun! Aku tidak sengaja," ujar Dianjia, ketakutan. Dia bahkan sampai bersujud saking takutnya, diikuti Annchi yang menunduk di sebelah Dianjia.

"Bajumu, kamu pasti anak salah satu pejabat," komentar sang prajurit.

Masih menunduk, Dianjia menjawab, "B-bukan. Ayahku hanyalah seorang kepala desa."

"Aku mohon jangan sakiti dia," pinta Annchi. Padahal prajurit itu hanya diam berdiri menatap mereka.

He Xinlong ikut kebingungan harus bertindak seperti apa di saat dua orang itu bersujud karena takut. Begitu fokusnya menangkap kantung uang tadi, ia langsung meraih dan mengembalikan, "Kami ingin mencari pemilik kantung ini!"

Sang prajurit diam sejenak. "Aku menyuruhmu menjauh dari Ibukota. Kenapa masih di sini?"

"Eh?"

Akhirnya Xinlong mendongak. Paman di gubuk!

"Tapi Paman, orang-orang dewasa sedang menunggu kereta kuda untuk kami," jawab Xinlong, sambil melirik ke arah Dianjia dan Annchi yang diam-diam ikut mendongak.

"Jadi begitu." Ia mengambil kantung dari tangan Xinlong.

"Terimakasih. Kalian, kembalilah!" ujarnya.

Xinlong merespon dengan anggukan. Kemudian dia mengajak Dianjia dan Annchi untuk kembali.

Tetapi percakapan segerombola tentara yang sama di meja luar ruangan sangat menarik untuk didengar. Sambil menikmati makanan dan berbagi arak, obrolan hangat mereka tentu sayang jika dilewatkan. Xinlong diam-diam meninggalkan Dianjia dan Annchi. Dia menyelinap, bersembunyi di belakang pilar, dekat meja tempat gerombolan itu berada.

Prince 龙凤 [The Journey of Rebuilding Empire]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang