Ruangan sempit berisikan anak-anak malang. Cahaya remang-remang lilin semakin memperjelas keadaan. Wajah sendu tanpa semangat kehidupan, semua terlihat berbagi kesedihan dalam diam. Xinlong memilih duduk di pojok tanpa sedikit perkenalan seru yang biasanya dilakukan banyak anak-anak.
Lagi-lagi dia harus berdiam diri di ruang sempit. Bedanya, kali ini tidak seorang diri. Ada banyak orang lain, meski keadaan tetap hening.
Entah sudah berapa jam lamanya duduk terdiam, pintu dibuka dengan dua orang datang membawa ember besi berisikan bubur encer. Satu orang yang lain membawa beberapa mangkuk dan sendok kayu.
Kedatangan mereka berdua membuat anak-anak menghampiri pintu bersemangat. Waktu makan sudah tiba. Entah ini makan pagi, siang, atau justru jam makan yang tak teratur?
Ember dibanting keras karena kewalahan. Menyebabkan sebagian kecil bubur encer tumpah ke tanah, lalu anak-anak itu menatap tumpahan bubur penuh gairah. Sayang sekali tumpah begitu.
"Baris dengan teratur! Semua dapat bagian," kata si pembawa ember membentak. Dengan penuh ketakutan semuanya berbaris. Semula Xinlong duduk di pojokan tanpa berminat menghampiri mereka. Tapi mengingat dirinya belum makan dari perjalanan pagi tadi, dia berbaris di barisan paling belakang.
Satu persatu anak kembali ke tempat mereka dengan semangkuk kecil bubur. Makan bersama dengan senang. Kini giliran Xinlong.
Ember diangkat tinggi-tinggi. Orang itu menyenggol bahu temannya untuk segera memberikan mangkuk kosong terakhir kepada Xinlong. "Pegang itu betul-betul," katanya sebelum menuangkan sisa-sisa bubur. Tidak penuh, bubur memang tersisa segitu.
"Sayang sekali, Nak. Kau tidak mendapatkan semangkuk penuh seperti anak-anak yang lain," kata si pemegang mangkuk.
Xinlong menatap mangkuk buburnya sejenak. Segera dia menggeleng cepat dan membungkuk, "Terimakasih." Xinlong tersenyum dusta. Dia merasa bagiannya jauh dari kata layak bagi seorang pangeran. Tapi bagi seorang tunawisma di perbatasan kota dari negara yang di ambang kehancuran, semangkuk bubur adalah sesuatu yang sangat berharga.
"Makan sampai habis agar kau cepat tumbuh besar," nasihat salah satu dari mereka sebelum benar-benar pergi, lalu mengunci kembali pintu rapat-rapat.
Xinlong berbalik badan, melihat sebagian besar anak telah menyelesaikan makanan mereka. Memang, bubur yang encer serta hambar dapat habis hanya dengan beberapa tegukan. Mungkin ada beberapa di antara mereka yang tidak puas hanya dengan semangkuk bubur. Salah satunya anak yang berjalan menghampiri Xinlong.
"Kamu anak baru, pasti sudah mendapatkan makanan lezat selama perjalanan. Lebih baik kamu memberikan jatahmu untukku, aku sangat lapar," katanya, sambil menunjuk-nunjuk mangkuk di tangan Xinlong.
"Semua sudah mendapat jatah masing-masing. Urusan masih lapar atau tidak, kau harus menanggung sendiri. Aku juga lapar!" tolak Xinlong.
Mendengar itu, ia mendelik tidak percaya. Lalu membuat alasan yang tidak masuk akal di benak Xinlong, "Kau tidak bisa membiarkan anak dari Kepala Desa ini kelaparan."
Sesaat Xinlong baru sadar. Baju yang anak laki-laki itu kenakan jauh lebih baik dibanding baju anak-anak lainnya. Hanya saja jika tidak usang karena debu, pasti kemewahan dari baju yang dia kenakan akan terlihat. Tidak seperti baju yang Xinlong kenakan. Sangat tidak menggambarkan dirinya sebagai seorang pangeran.
"Huh!"
Xinlong menghampiri sudut lain untuk duduk dan makan. Melihat kelakuan Xinlong, anak dari kepala desa menatap tak percaya. Lalu dia menghentikan pergelangan tangan Xinlong dengan kencang. Membuat Xinlong sedikit tersentak ke belakang, buburnya juga tumpah sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince 龙凤 [The Journey of Rebuilding Empire]
Hayran Kurgu[ bukan novel terjemahan ] He Xinlong, nama yang seringkali diiming-imingi gelar Putra Mahkota. Anak bungsu Kaisar He Xinhuo sekaligus pangeran satu-satunya di Kekaisaran Feng. Kehidupan mewahnya sirna begitu kekaisaran lain datang dan menyerang ist...