Lagi-lagi sorakan riuh terdengar dari cafetaria, setiap hari akan terus begitu, mungkin hanya akan berhenti jika sang pemuda yang terus berdiam diri itu meninggalkan sekolah mereka.
Pemuda itu tersungkur, bahkan sup di nampannya kini sudah membasahi punggungnya. Hanya terdengar tawa yang menggelegar disertakan kata-kata umpatan dari para perundung.
"Hentikan."
Hening, seluruh pasang netra kini melirik padanya, lelaki dengan almamater OSIS yang kini menahan lengan Hwang Hyunjin, si berandal sekolah.
"Wah, lihat Fel, pangeran berkuda putih mu sudah datang," Hyunjin melepaskan cekalan tangan Minho di lengannya.
"Hey? kenapa tidak menjawab?" Hwall menendang pelan kaki milik Lee Felix.
"HWALL! APA MAKSUD MU? DIAKAN BISU! HAHAHAHHAHA," Yeji tertawa keras, memegangi perutnya yang sakit akibat banyak tertawa.
Suara tawa kembali memenuhi indra pendengaran.
"Kembalilah ke meja kalian sebelum aku melaporkan nama-nama kalian!" ucap Minho tegas.
Semua bubar, meninggalkan Felix yang kini tergeletak tak berdaya di lantai dingin cafetaria, terkecuali Minho. Pemuda itu kini berjongkok, hendak menolong yang lebih muda.
"Lee Felix? kamu tidak pingsan kan?"
Felix berusaha untuk bangkit, tubuhnya terasa hancur, bahkan seragamnya itu sudah dipenuhi oleh cap kaki seseorang. Minho pun turut membantu agar Felix dapan berdiri.
"Ayo ke UKS."
Felix tentu tidak bisa menjawab, ia hanya bisa menurut ketika pergelangan tangannya ditarik pelan oleh sang ketua OSIS.
Kini Felix duduk dia atas brankar ruang kesehatan, membelakangi yang lebih tua.
Minho menatap punggung sempit yang kini tidak tertutupi sehelai benang pun itu, menatap miris pada memar memar yang terlukis disana.
"Tolong katakan jika sakit."
Felix menoleh, yang langsung di pahami oleh Minho.
"Maaf, aku lupa."
Felix kembali menghadap ke depan, lalu menunduk, dan memainkan jemari miliknya.
"Kenapa tidak melawan?"
Felix hanya menggeleng, tentu tidak bisa menjawab. Sudah beberapa kali Minho menolongnya, dan juga mengobatinya. Dan pemuda itu selalu melupakan kekurangannya.
Minho merogoh saku almamaternya, lalu memberikannya pada Felix. Sebuah buku kecil dan pena.
"Tulislah disana."
Felix mengangguk, mulai menulis di buku kecil itu.
"Aku tidak bisa melawan mereka, mereka terlalu banyak."
"Aku akan membantumu melawan mereka."
"Tidak perlu, mereka akan semakin gencar mengerjaiku."
"Kalau begitu tetaplah bertahan."
"Tentu, aku akan bertahan hingga mereka bersujud di kakiku."
Minho terkejut, tidak percaya seorang Lee Felix bisa berkata demikian. Minho hanya tidak tau, Felix sedang tersenyum penuh arti.
••• Máscaras •••
"Hey."
Felix mendongak, menatap sosok pemuda yang pastinya akan mengganggunya. Hari telah berganti sejak Minho mengoleskan salep pada lebam-lebam di punggungnya, dan hari-hari selalu sama saja bagi Felix, sama sama menyakitkan.
"Mau sekelompok denganku?"
Felix bangkit dari duduknya, lalu menggeleng cepat.
"Kenapa tidak mau? aku akan membayar mu."
Pemuda manis itu mengambil buku kecil pemberian Minho di laci mejanya, lalu memulai menulis disana.
"Aku ingin mengerjakannya sendirian, Hyunjin."
"Ini bukan permintaan, tapi perintah. Sepulang sekolah ikutlah denganku."
Yang bisa Felix lakukan kini hanyalah mengangguk pasrah, perkataan Hyunjin tidak bisa dibantah.
Felix kembali duduk di bangkunya, tak lama seorang guru perempuan masuk dan hendak memulai pelajaran, namun tertunda saat kedua netra nya menatap Felix.
"Lee Felix, mau sampai kapan saya memerintahkan mu untuk mengubah warna rambutmu menjadi lebih gelap?"
Felix menunduk, ia ingin membela diri, namun tidak bisa. Menulis hanya akan membuat waktu terbuang sia-sia, karena guru itu tidak akan mempercayainya.
••• Máscaras •••
Don't forget to voment, thanks for reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Máscaras | MinLix
Fanfiction"𝘼𝙠𝙪 𝙞𝙣𝙞 𝙘𝙖𝙘𝙖𝙩, 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙪𝙝𝙡𝙖𝙝, 𝙖𝙠𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙖𝙪 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙞𝙠𝙪𝙩 𝙩𝙚𝙧𝙠𝙚𝙣𝙖 𝙨𝙞𝙖𝙡 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙨𝙚𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙞 𝙙𝙚𝙠𝙖𝙩𝙠𝙪." Sejak pertama kali melihatnya, Minho yakin bahwa Felix itu matahari yang...