[11] Tolong

358 69 3
                                    

Beberapa jam sebelum Felix pergi bersama Minho, tepatnya sepulang sekolah. Hyunjin mengajak Felix pulang kerumahnya, seperti yang ia katakan saat istirahat.

Disana, Suzy sudah duduk di kursi di teras rumah. Dengan wajah ceria, wanita itu langsung menyambut kedatangan keduanya.

"Hyunjin, Felix, kalian sudah makan siang?"

Keduanya menggeleng, seorang guru menghabiskan waktu istirahat terakhir mereka untuk mengulang materi yang tertinggal.

Suzy merangkul pundak Felix, "Bunda udah masak banyak, ayo makan bareng."

Suzy berjalan masuk kerumah serta membawa Felix, meninggal Hyunjin yang sedang mendelik kesal. Tapi tak lama ia tersenyum tipis.

"Terimakasih Felix."

Hyunjin ikut masuk menyusul, tetapi ia langsung menuju kamar untuk mengganti seragamnya terlebih dahulu.

Setelah usai mengganti baju, Hyunjin langsung menuju dapur, tetapi langkahnya berhenti ketika melihat senyuman ceria yang terukir apik di wajah ibunya. Tanpa ia sadar, sudut bibirnya ikut tertarik ke atas.

Suzy sedang asik mengobrol dengan Felix, Felix menggunakan bahasa isyarat yang dapat di pahami oleh Suzy. Hyunjin kecil mempelajari bahasa isyarat dari Suzy, yang tanpa ia sangka akan berguna ketika ia sudah remaja.

Hyunjin mulai kembali melangkah, tapi tangannya tiba-tiba di tarik dari belakang. Papanya ternyata juga datang, dan menariknya paksa.

Suzy sontak berdiri, "Jangan apa-apakan anakku!"

"Dia juga anakku," jawab Jinyoung dengan nada dingin.

Felix ikut menoleh kebelakang, tapi kedua lelaki itu sudah menghilang. Suzy berjalan mendekati Felix.

"Kamu bunda antar pulang, ya?"

Felix menggeleng cepat, ia tidak mungkin meninggalkan Hyunjin.

BRAK

PRANKK

"ARGH, SE-STOP!"

Felix buru-buru berlari mendekati arah suara, disusul oleh Suzy.

Di kamar Hyunjin, Jinyoung sedang memukul anak tunggalnya itu. Tapi di mata Felix, pria tua itu lebih seperti sedang membantai anaknya.

Kaca besar di kamar bernuansa abu-abu itu sudah pecah tidak berbentuk. Tongkat bisbol yang beberapa tahun ini beralih fungsi sebagai alat memukul anaknya itu terus dilayangkan pada tubuh Hyunjin.

Suzy membalik tubuh Felix dan memeluknya, serta menutup telinga Felix agar tidak mendengar suara pukulan-pukulan itu.

"Felix pulang aja, ya? Hyunjin juga pasti ga mau kalo Felix ngeliat dia sekarang."

Felix mengangguk patuh, memang seharusnya ia tidak ikut campur, begitu pikirnya.

••• Máscaras •••

Hyunjin kini berada di ruangan bernuansa serba putih, Ia sendirian.

Untuk bergerak sedikit saja, Hyunjin tidak bisa. Tubuhnya terasa hancur saat ini.

Hyunjin menekan tombol untuk memanggil dokter, lalu dokter datang, ia diperiksa, lalu kembali di tinggalkan. Hyunjin sudah hapal, tidak terhitung untuk ke berapa kalinya ia masuk rumah sakit karena ulah gila papanya.

Ia merenungi perbuatannya, sungguh ia tidak merasa melakukan kesalahan apapun akhir-akhir ini.

Seorang suster masuk ke kamar inap Hyunjin, suster itu mengantarkannya makan malam dan obat.

"Hyunjin, kenapa kau di rawat lagi?"

Wáng Fēi Fēi, suster yang selalu Hyunjin temui jika ia dirawat di rumah sakit. Wanita yang lebih tua beberapa tahun dari ibunya itu selalu menemaninya di kala kedua orang tuanya tidak ada untuk menemaninya.

Hyunjin tersenyum, Fei mengusak surai Hyunjin sebentar.

"Ku harap akan segera berakhir, Hyun."

"Semoga saja."

"Ingin ku suapi?"

Hyunjin mengangguk pelan, dengan susah payah dan juga dibantu oleh Fei, Hyunjin dapat duduk untuk memakan makanannya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Hyunjin setelah menelan sesendok buburnya.

"Belum menunjukkan kemajuan apapun, Hyun."

Hyunjin menghembuskan nafas berat, "Sudah puluhan kali aku keluar masuk rumah sakit, dan dia belum sadar juga?"

Fei menepuk pundak Hyunjin beberapa kali, "Dia pasti akan sadar, aku yakin itu."

Hyunjin hanya tersenyum, semoga saja.

••• Máscaras •••

Hari kedua dirinya di rawat, Hyunjin merasa tubuhnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Dengan bantuan Fei, ia menuju ruang ICU menggunakan kursi roda.

Setelah Fei keluar dari sana, Hyunjin mulai berbicara dengan sosok yang kini terlihat seperti sedang tertidur dengan damai.

"Aku menunggumu, selalu."

"Sebentar lagi, seharusnya kau naik kelas dua.. dan aku akan naik kelas tiga.. aku sangat ingin merasakan menjadi kakak kelasmu."

"Sayang, ku mohon.. sadarlah."

Hyunjin menyeka air matanya yang handak turun, "Kamu enggak suka kakak nangis kan? tapi kamu yang bikin kakak nangis, Jeong."

"Kakak bahagia liat kamu sudah enggak diganggu siapapun lagi, tapi kakak juga kangen suara kamu, ketawa kamu, senyuman kamu, kakak kangen semuanya..."

"Kamu janji mau main sama kakak di pantai, kamu janji mau foto berdua di taman bunga, kamu janji mau selalu makan siang berdua sama kakak di sekolah, kamu janji mau liat pertandingan basket pertama kakak.... kamu janji mau ngasih kakak hadiah kalau kakak menang..."

"Kakak berhasil menangin pertandingan itu Jeong, kamu bangga kan sama kakak? kakak mau minta hadiah sama kamu."

"Kakak cuma mau minta kamu bahagia selamanya."

Tidak lama kemudian, muncul suara yang datang dari alat monitor, suara yang sangat tidak ingin Hyunjin dengar.

Ia tersenyum. setidaknya, kesayangannya kini telah memilih kebahagiannya. Semesta terlalu kejam pada pemuda manis itu.

••• Máscaras •••

Don't forget to voment, thanks for reading.

Máscaras | MinLixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang