Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, suatu saat pasti akan tercium juga.
Dalam kasus Melinda, Cakra, dan Danita, pribahasa itu mungkin hanya berlaku untuk beberapa saat, hingga bau busuknya tak terlalu menyengat.
Memang bukan hal yang mudah bersembunyi dari takdir yang seringkali datang tiba-tiba. Itulah yang dirasakan Cakra dan Melinda saat Danita datang tiba-tiba sebagai takdir yang tak diharapkan keduanya.
"M-Mbak, ini nggak seperti yang Mbak kira." Wajah Melinda sudah memucat saat dia berusaha menjelaskan pada Danita yang hanya bisa terpaku menatap Cakra mengenakan pakaiannya tepat di ambang pintu kamar mandi.
Entah apa yang ada di pikiran mereka berdua, Melinda pun tak mengerti. Intinya dia bisa melihat ada emosi yang susah payah disembunyikan Danita dari balik sorot mata tajamnya, pun Cakra yang tiba-tiba bungkam seribu bahasa sembari sesekali menatap istrinya dan Melinda dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Aku harap ada alasan yang cukup masuk akal untuk menjelaskan semua ini!" tegas Danita sembari menatap adik dan suaminya bergantian. Cakra beruntung istrinya bukan tipe wanita yang dengan mudah meluapkan amarah. Selagi bisa dibicarakan baik-baik dengan alasan masuk akal, dia bisa menerimanya. Terlebih Danita sangat mempercayai Melinda tak akan mungkin mengkhianatinya.
"Anu, Mbak, itu ... argh!" Melinda mengerang keras antara emosi dan frustrasi, terlebih pada dirinya sendiri. Banyak kalimat yang sudah dia susun di kepala untuk menyangkal semua, tapi tak ada satu pun yang mampu keluar dari mulutnya.
"Biar saya yang jelaskan." Dengan tenang Cakra menepuk pelan bahu Melinda. "Kamu duduk aja!" titahnya.
Kemudian lelaki itu menghampiri Danita yang masih belum beranjak dari ambang pintu, lalu menarik tangannya.
"Sambil duduk!" cetusnya sembari mengiring Danita untuk duduk di hadapan Melinda, sementara Cakra mengambil tempat di sampingnya.
"Sejak mendengar suara kamu aku udah berniat keluar, tapi Meli melarangnya. Dia terlalu takut kamu salah paham, jadi memohon agar aku tinggal di dalam. Tak menyangka ternyata akhirnya malah begini."
Ketegangan terasa saat Cakra memulai percakapan. Di sebelahnya Danita hanya bisa duduk kaku dengan pikiran yang tak menentu. Lain dengan Melinda yang gelisah dibuatnya.
"Nggak ada yang terjadi, kita cuma ngobrol biasa. Kamu bisa tanya Meli, aku yakin di sini cuma dia yang kamu percaya."
Danita tak menjawab, dia hanya melirik Melinda sekilas.
"Selama sebulan aku ditugaskan di kantor cabang. Kebetulan tempatnya emang nggak jauh dari apartemen Meli, jadi aku memutuskan buat mampir sebentar. Kebetulan kita udah lama nggak ketemu semenjak Meli pindah ke kota ini. Sebelum kedatangan kamu kita baru aja ngobrol tentang rencana kepindahan ke sini."
Setelah sekian lama akhirnya Danita berani menatap mata Cakra.
"Sebenarnya aku berniat memberi kejutan untuk ulang tahunmu lusa, tapi sayang semua berjalan tak sesuai rencana. Terpaksa harus kutunjukkan sekarang juga."
Mendengar itu Melinda mengangkat kepala. Kalimat Cakra yang terakhir sama sekali tak pernah dibicarakannya. Bagaimana bisa mulut itu begitu mudah berdusta di hadapan Danita?
Apa yang direncanakan Cakra sebenarnya?
"Kurasa apartemen yang sebelumnya terlalu kecil, apalagi sebentar lagi kita akan kedatangan anggota keluarga yang baru. Kamu juga selalu mengeluh karena jarak memisahkanmu dan Meli. Aku cuma berniat mempersatukan kalian."
Melinda mengernyitkan dahinya. Seketika batin perempuan itu menjerit. "Kamu bukan berniat mempersatukan kita, Mas, tapi benar-benar memisahkannya!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Room Service
FanfictionMelinda menyediakan jasa pelayanan kamar khusus di sebuah unit apartemen elite di pusat kota. Banyak rahasia yang sudah dia simpan dari para pelanggannya. Mulai dari hal kecil seperti menjelekkan sesama penghuni apartemen, maupun yang datang terang...