Korban Sebenarnya

2.6K 155 14
                                        

"Dia anakku, kan?"

Gerakan David yang baru saja hendak memutar hendel pintu terhenti.

"Iya."

Deg!

"Kalau begitu, mari kita menikah!"

Tangan besar itu mengepal seketika. Tubuhnya mundur selangkah dengan rahang yang sudah mengeras dan wajah merah padam.

Emosi yang baru saja teredam kembali muncul ke permukaan. Panas yang menjalari kepala sampai ke ubun-ubunnya bukan hanya karena perempuan yang dia suka baru saja dilamar kakak tirinya, tapi juga fakta bahwa anak yang dikandung Melinda adalah benih Candra.

"Bang! Ada apa?" Dini yang baru saja datang dibuat keheranan karena melihat David hanya berdiri mematung di depan ruangan. "Udah samperin Melinya?"

Lelaki itu hanya menoleh sekilas, lalu pergi begitu saja tanpa menjawab.

"Kenapa, sih tuh orang?" Dini menggerutu. Kemudian mengedikkan bahu.

Memilih mengabaikan David, dia mengulurkan tangan hendak membuka pintu, tapi seseorang sudah mendahului dari dalam.

Bola mata perempuan itu melebar saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya sekarang. Mereka nyaris bertabrakan.

Wajah yang familiar. Dengan almamater kedokteran. Lelaki yang Melinda ceritakan sebagai penyebab dari kehamilannya.

Dia bukan hanya memiliki kemiripan dengan Cakra kakak iparnya Melinda. Namun, mereka identik, hanya kacamata saja yang membedakan.

"Dokter Candra A. Bagaskara," gumam gadis tambun itu saat melihat name tag yang tersemat di dada kanannya.

***

"Gila, gila, gila! Semudah itu dia ajak lu kawin, Mel!" Dini mengacak rambutnya. Entah sudah berapa kali dia melakukannya seharian ini saking frustrasinya.

Melinda mengangguk pelan. Sebenarnya dia juga tak mengerti bagaimana bisa Candra langsung mengambil keputusan tanpa pertimbangan, meskipun hal tersebut memang yang Melinda inginkan.

Semuanya hanya terasa tak masuk akal dan terlalu cepat. Dia pikir akan terjadi banyak drama dan air mata sebelum akhirnya lelaki itu mau mempersuntingnya.

Melinda memang tak mengenal Candra dengan baik. Keduanya benar-benar hanya partner in bed atau kata lainnya teman kencan satu malam. Tidak ada yang Melinda tahu tentang Candra selain kemiripannya dengan Cakra juga insomnia akut yang diidapnya.

Seperti yang Dini katakan, lelaki itu misterius. Dia bahkan hanya pulang ke apartemen sekali dalam seminggu. Tak pernah ada percakapan berarti dari dua kali pertemuan keduanya. Hanya suara derit ranjang saja yang terdengar keluar tiap kali menghabiskan malam panjang.

Lelaki itu juga begitu percaya diri mengatakan bahwa janin yang tumbuh di rahim Melinda memang benar benihnya. Tak ada kecurigaan atau kata-kata ancaman seperti yang biasa lelaki hidung belang katakan pada perempuan yang tak memiliki ikatan dengannya.

Melinda bingung, tapi di satu sisi juga senang. Walau bagaimana pun rintangan pertama berhasil dia lewati agar bisa terlepas dari bayang-bayang Cakra dan masa lalunya.

Cukup satu kali kesalahan dia lakukan. Melinda tak mau hubungannya dengan Cakra maupun Danita berbuntut panjang hanya karena perasaan yang kembali muncul ke permukaan.

"Lu yakin dia dan Bang Cakra nggak kembar, Mel? Mirip banget gila. Hampir nggak ada bedanya selain kacamata sama style rambut." Ucapan Dini kembali menarik Melinda dari lamunan.

Melinda menggeleng. "Gue nggak tahu, Din. Kita pacaran cuma satu setengah tahun. Mas Cakra nggak pernah cerita apa-apa tentang keluarganya selain orangtua yang udah lama pisah. Dia juga pernah cerita kalau mamanya bahagia hidup melajang sampe sekarang daripada waktu berumah tangga. Gue tahu apa maksudnya. Intinya secara nggak langsung Mas Cakra bilang kalau orangtuanya menikah tanpa cinta, dan mamanya nggak bahagia sampe akhirnya memutuskan berpisah. Sementara papanya  udah nikah lagi dan punya anak dari istri yang sekarang. Sekarang gue tahu kenapa Mas Cakra sangat membenci perjodohan. Karena nikah tanpa cinta itu nggak selamanya berakhir happy ending."

Room Service Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang