Hanya Pura-Pura

5.3K 183 4
                                    

"Hei, ada apa?"

Danita bangkit dari tempatnya saat melihat Melinda menangis terisak-isak. Air matanya berguguran mengenai piring berisi makanan yang belum sempat disentuhnya.

Kata demi kata yang terlontar dari mulut kakaknya membuat Melinda tak kuasa lagi menahan rasa bersalahnya.

Semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, penyesalan tak akan bisa mengubah apa yang sudah dilakukannya dengan Cakra malam itu.

"Maaf, Mbak."

Dahi Danita mengernyit.

"Ma-af karena nggak bisa jadi adik yang baik buat Mbak Dani, ma-af karena aku benar-benar nggak berguna dan nggak tahu diri."

Danita mendekap tubuh adiknya. Dia benar-benar kebingungan dengan perubahan sikap Melinda.

Apa yang membuatnya tiba-tiba menangis tanpa sebab? Apa yang membuatnya tiba-tiba meminta maaf?

Meskipun kebingungan, tapi Danita berusaha   mengembalikan keadaan. Dia elus lembut rambut Melinda dan menenangkannya.

"I-iya, mbak maafkan. Udah, ya, Mel. Kalau kamu kayak gini terus, malah mbak yang bingung."

Melinda tak menjawab. Dia hanya bisa terisak sembari memeluk Danita erat.

***

Sehari sejak adiknya tiba-tiba menangis tanpa alasan. Besoknya Danita mendapati Melinda dalam keadaan demam. Tubuhnya menggigil dan sama sekali tak mau makan.

Sudah beberapa kali perempuan itu bolak-balik memastikan keadaan Melinda sembari mengurus Arka yang tiba-tiba rewel karena ditinggal omanya mengurus berbagai keperluan di ibu kota.

Apalagi Cakra ada tugas di kantor cabang daerah lain dan diperkirakan baru pulang nanti malam. Dia benar-benar kewalahan, mengingat Dini yang biasa menemani Melinda juga tiba-tiba ada halangan.

Sekarang Danita menyesal tak pernah menggunakan jasa baby sister untuk membantu merawat Arka hanya karena ibu mertuanya selalu ada. Bocah berumur dua setengah tahun itu benar-benar sedang aktif-aktifnya hingga tidak mau diam.

"Ayo, Nak. Sebentar aja kita antar bubur ke kamar Tante Meli. Habis ini Mama beliin es krim, ya." Danita membujuk putranya yang tak mau beranjak dari box mainannya. Meskipun kotak dengan tinggi satu meter itu sudah dipastikan aman, tapi Danita tak mau mengambil risiko meninggalkan Arka sendirian meskipun hanya sebentar.

"Nggak mau!" Arka mengedikkan bahunya sembari menepis tangan mamanya. Bocah itu terlihat asik memainkan mobil-mobilan.

"Sebentar aja, ya, Sayang. Nanti Arka bisa maen lagi, kok." Danita belum menyerah. Hampir dua jam dia berusaha. Namun, tak ada hasilnya. Bubur hangat yang dia siapkan untuk Melinda bahkan sudah berubah dingin.

"Nggak mau!" Kali ini Arka membentak. Bocah itu bahkan mulai menangis dan memukuli lengan Danita.

Danita menghela napas panjang. Dia usap perut buncitnya pelan, sebelum menggendong Arka dari box mainnya.

"Cup, cup, cup. Maafin mama, ya, Sayang. Mama janji nggak akan maksa lagi."

Dengan berbagai pertimbangan akhirnya pilihan Danita jatuh ke layanan pesan antar makanan.

Namun, belum sempat meraih ponsel, suara pintu yang terbuka dan derap langkah yang terdengar mendekat menginterupsinya.

"Syukurlah Mas pulang cepat." Danita menghela napas lega. "Aku mau minta tolong periksa keadaan Meli, dari kemarin dia demam, dan belum makan dari pagi. Aku udah buatin bubur, tapi belum sempat dikasihin. Arka tiba-tiba rewel banget. Dia nggak mau diajak keluar," papar Danita panjang lebar.

Cakra membelalak seketika.

"Melisa sakit? Kenapa nggak bilang dari kemarin, sih? Kan aku bisa pulang cepet buat bawa dia ke dokter. Makanya jangan terlalu manjain Arka! Jadinya tuh anak susah diatur. Apalagi di situasi yang genting kayak gini."

Danita tertegun saat melihat respon berlebihan yang ditunjukkan suaminya.

"Arka masih dua setengah tahun, loh, Mas. Wajarlah kalau dia susah diatur. Lagian Meli cuma demam biasa," sergah Danita gusar.

"Ah, udahlah. Kamu jagain aja Arka di sini, biar aku yang bawa Melisa ke rumah sakit."

"Ta-tapi, Mas ...."

Blam!

Danita hanya bisa mematung saat melihat Cakra melempar tas laptopnya, lalu berjalan cepat keluar dengan membanting pintu tanpa berniat mengganti baju.

Baru sekali dalam tiga tahun pernikahan mereka, Cakra bersikap overprotective seperti ini. Dan itu terjadi pada adik iparnya, bukan pada istrinya.

***

Ketukan pintu yang lebih terdengar seperti gedoran itu terdengar. Cakra semakin tak sabar karena pintu unit Melinda begitu lama dibuka.

Beberapa saat kemudian seseorang membuka pintu yang membuat Cakra mengernyit dibuatnya.

"Anda siapa?" sentak Cakra to the point.

Lelaki jangkung itu mengusap tengkuk sejenak.

"Sa-saya Dave, Mas. Temennya Meli."

Seketika Cakra menarik napas lega.

"Ya, sudah, Anda boleh pulang. Makasih sudah menemani adik ipar saya."

"I-iya." Dave mengangguk ragu, kemudian berniat masuk kembali ke dalam. Namun, Cakra menahannya.

"Mau ngapain?" 

"Pamit sama Meli," tuturnya.

"Nggak usah. Biar saya yang sampaikan nanti."

Dave mengernyitkan dahi, lalu tersenyum kikuk.

"Ngo-key."

Cakra pun berlalu.

Dave menggaruk rambutnya yang tak gatal.

"Cuma kakak ipar, kok berasa pacar? Aneh."

***

"Kenapa nggak bilang kalau sakit, sih, Mel? Aku, kan bisa pulang dari kemarin buat anter kamu ke dokter," ujar Cakra sesaat setelah sampai di hadapan Melinda yang tengah terbaring lemah di ranjangnya.

"Buat apa? Aku nggak punya hak. Karena kita memang bukan siapa-siapa," timpal Melinda datar sembari mengubah posisi membelakangi lelaki itu.

Cakra menghela napas gusar. Dia tarik bahu Melinda agak kembali menghadapnya.

"Jangan pura-pura lupa, Mel. Dua hari lalu kita baru--"

"Nggak usah dibahas! Anggap aja kita khilaf. Lupain apa yang udah terjadi hari itu, ataupun hari-hari sebelumnya!" sentak Melinda.

Cakra menatap tak percaya. "Mel ...."

"Kita akhiri sampe di sini aja, Mas. Aku nggak bisa biarin Mbak Dani tahu, aku nggak sanggup liat dia terluka. Tolong ... lupain aku,  lupain masa lalu kita. Anggap aja nggak pernah ada yang terjadi di antara aku dan kamu. Kumohon ... kembalilah sama Mbak Dani, bahagiai dia. Aku janji bakal hidup lebih baik setelah ini, aku janji bakal tutup jasa room service ini. Pelan-pelan aja, Mas. Kamu pasti bis--"

"Cukup, Mel!"

Melinda terpaku saat mendengar suara Cakra meninggi.

"Kurang banyak apalagi pengorbananku pada Danita selama tiga tahun ini? Aku mampu menjadi suami yang baik, memberinya nafkah lahir maupun batin, menerima segala kekurangan dan masa lalu kelamnya. Hanya satu yang tidak bisa kulakukan. Yaitu mencintainya!"

Deg!

Melinda mengangkat kepala, air mata sudah menjadi kubangan di pelupuknya saat Cakra berucap sedemikian lirihnya.

"Aku sudah lelah berpura-pura, Mel. Aku lelah membohongi diri sendiri. Ucapanmu saat itu sama sekali nggak terbukti. Karena pada kenyataannya waktu nggak bisa mengubah perasaanku padamu, waktu nggak bisa membuatku lupa dengan hari itu. Hari di mana kamu berlutut dan meraung-raung agar aku bersedia menikahi kakakmu dan menutupi aib kehamilannya."

.

.

.

Bersambung.

Room Service Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang