Malam Itu ....

7.7K 168 1
                                    

*Kemarin

Mobil BMW i8 melesat membelah jalanan yang lenggang. Melewati lampu-lampu jalan yang menerangi pekatnya malam. Tak ada bintang yang menemani rembulan kali ini, sehingga langit terlihat begitu kelam untuk dipandang. Sekelam perasaan perempuan yang duduk gelisah di kursi penumpang.

Hampir seharian dia dibawa berputar-putar mengelilingi kota. Sesekali singgah sebentar untuk sekadar mengisi perut yang keroncongan. Dari siang sampai larut malam.

Tak ada percakapan berarti yang mereka bicarakan. Keduanya seolah sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia yang sebenarnya tak tahu akan membawa mereka pada kehidupan seperti apa setelah ini.

"Kita istirahat dulu di sini."

Melinda tersentak dari lamunan saat mobil berhenti di parkiran sebuah hotel berbintang. Tangan besar Cakra yang tersimpan di atas jemarinya membuat perempuan itu tertegun untuk beberapa saat. Itu adalah sentuhan pertama mereka sejak menghabisi waktu bersama sampai selarut ini.

"Kasih aku waktu buat berpikir sejenak, Mas." Lirih Melinda dalam keraguan pekat yang mulai menyelimuti dirinya.

Cakra menghela napas panjang.

"Kita memutari kota ini hampir seharian, Mel. Saya butuh jawaban dari semua pertanyaan yang selama ini berputar-putar di kepala. Seharusnya saat kamu memutuskan untuk menyetujui ajakan saya, nggak akan ada lagi waktu untuk berpikir!" tegas Cakra.

"Tapi kita ambil langkah yang terlalu jauh, Mas," desah Melinda dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Kamu yang melangkah terlalu jauh. Sampai saya tertinggal di belakang. Mau sampai kapan kita begini? Saya udah nggak tahan, Mel. Saya benar-benar nggak bisa melanjutkannya lagi dengan Danita."

Melinda menggeleng kuat. Air matanya mulai mengalir deras. "Sebentar aja, Mas. Aku mohon sabar sebentar lagi. Sampai Mbak Dani melahirkan, sampai dia cukup kuat untuk mengetahui semua kenyataannya."

Cakra mengempaskan punggungnya dengan kasar ke sandaran kursi. Lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu mendesah gusar.

"Tapi saya nggak janji bisa memperlakukannya seperti biasa. Semua ini sudah di luar kemampuan saya. Jangan munafik, Mel. Saya juga tahu kamu pasti mengharapkannya. Mengharap perpisahan saya dengan Danita."

Deg!

Melinda mengangkat kepalanya, lalu menatap Cakra dengan nanar.

"Tatap mata saya dan katakan dengan lantang kalau memang salah! Kamu juga merasakannya, kan? Perasaan itu masih ada, kan? Saya yakin inilah salah satu alasanmu pindah," desak Cakra sembari mengguncang pelan bahu Melinda.

Perempuan itu menggeleng kuat, lalu memalingkan pandangan saat berucap lantang.

"Nggak! Kamu salah, Mas. Perasaan itu udah lama hilang. Perasaan itu udah nggak bisa lagi kurasakan."

Cakra tersenyum miring, lalu menarik dagu Melinda agar mereka bersitatap dengan jarak yang begitu dekat.

"Katakan sekali lagi!" Suara Cakra meninggi.

"Iya!" teriak Melinda akhirnya. "Aku merasakannya, Mas. Perasaan itu masih ada dan nggak pernah berkurang sedikit pun. Aku masih sangat mencintaimu." Perempuan itu terisak kencang, sembari membekap mulut berusaha meredam tangis yang selama ini hanya bisa dia pendam sendirian.

Cakra tersenyum kecil. Beberapa saat kemudian dia menarik Melinda dalam dekapan.

"Aku tahu. Karena aku juga masih mencintaimu."

Panggilan asing itu seketika berubah. Seolah membuka kembali memori yang telah terpecah-belah. Tentang hati yang dipaksa patah, tentang perasaan yang harus dilupakan hingga memaksa salah satu dari mereka untuk mengalah, sementara yang lainnya bertahan di antara kesakitan.

***

Entah bagaimana mulanya mereka bisa berakhir di sini. Di sebuah kamar hotel yang sengaja disewa untuk satu malam. Dalam pembaringan berukuran besar tanpa sehelai pun benang. Diselimuti kobaran api kerinduan yang sudah lama meminta untuk diluapkan.

Cinta telah membuat mereka buta, cinta telah membuat mereka lupa. Bahwa tak ada satu pun alasan untuk sebuah perselingkuhan.

.

.

.

Bersambung.

Room Service Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang