Kejadian Tak Terduga

3.2K 192 19
                                    

Ada begitu banyak kebetulan yang terjadi di dunia. Namun, bila kebetulan datang berulang-ulang dan tak terkendalikan. Peristiwa tersebut tak bisa lagi disebut kebetulan, melainkan sebagian dari ketetapan takdir kehidupan.

"Tau gitu tadi kita pake lift sebelah aja, Ndut!" gumam David beberapa saat setelah Candra dan Melisa masuk ke dalam.

"Lift sebelah lagi dalam perbaikan, Bang," sahut Dini.

Rupanya yang mulai tak nyaman di sini bukan hanya David, melainkan Dini juga. Apalagi mereka bisa merasakan atmosfer di dalam ruangan berjalan ini tiba-tiba berubah tegang.

Meskipun tak ada percakapan, tapi jelas masing-masing dari mereka saling memperhatikan, bertanya-tanya, bahkan kesal tanpa alasan.

Memori yang sudah terkubur selama tiga tahun lamanya, mulai muncul ke permukaan. Bertebaran di sekeliling hingga menciptakan suasana hening yang menjengkelkan.

Ingin rasanya menampik, tapi kenyataan lebih dulu menampar. Sekuat apa pun dilupakan kenangan mereka berempat tak akan pernah bisa terhapuskan.

Danita merapatkan tubuhnya pada Cakra. Cengkeraman tangan perempuan itu mengetat di lengan suaminya saat melihat Melinda menggadeng lelaki dari masa lalunya tepat di hadapan, membelakangi. Semua ingatannya luruh sudah, terburai tak beraturan. Menyisakan perasaan yang sulit tergambarkan. Perasaan yang Danita sendiri pun tak bisa mengartikannya. Dia benar-benar tak mengerti, seharusnya emosi itu bangkit, lalu menampar dan memaki. Seperti yang biasa dilakukan korban lelaki bajingan lainnya. Entah karena perasaannya pada Candra sudah lama menguap, atau karena ada Cakra di sampingnya.

Lain halnya dengan Cakra. Mati-matian dia menyembunyikan emosi, tangannya terkepal kuat dengan rahang mengetat. Tak habis pikir ia, bagaimana bisa saudara kembarnya yang sudah lebih dari dua puluh lima tahun tak berjumpa, tiba-tiba muncul di hadapannya. Mengandeng perempuan yang masih begitu dia damba. Tak pernah Cakra sangka sebelumnya. Ternyata mereka tinggal di atap yang sama.

Jrag!

Masih dalam keadaan perang dingin, lift tiba-tiba berhenti. Keenamnya sontak terlonjak. Keadaan semakin tak memihak, ketika alam pun ikut serta menjebak mereka dalam kenangan masa lalu jauh lebih lama.

Para perempuan mulai panik. Posisi yang semula membelakangi terpaksa harus  bersitatap. Saling melempar pandangan, dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Tenang, nggak usah panik!" seru Candra, "Dave, telepon staf apartemen sekarang!" titahnya.

David yang semula celingukan, menoleh. "Siap, Bro!" Dia meraih ponsel di saku dalam jasnya, lalu mulai menghubungi bantuan.

Cakra yang melihat itu tanpa sadar langsung bertanya.

"Lo kenal dia?" Pertanyaan itu dia peruntukan untuk David, tapi tatapannya terarah pada Candra.

"Dia abang gue."

"Dia adek gue."

Serempak pertanyaan itu mereka jawab.

"Kalian saling kenal?" Melisa menyahuti.

Candra dan Cakra berpandangan. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang bersedia menjawab pertanyaan Melisa.

"Mereka kembar. Nggak liat apa bajunya juga samaan," timpal David disela panggilan teleponnya.

Sontak Cakra dan David memeriksa pakaian mereka. Dan terkesiap setelahnya. Rupanya mereka baru sadar kalau papanyalah yang memberikan pakaian tersebut.

Sementara Melisa membelalak tak percaya. "Apa-apaan." Dia benar-benar tak habis pikir. Peristiwa yang semula dianggap hanya kebetulan semata, rupanya memang takdir yang sudah ditetapkan untuk mereka. Candra, lelaki itu, yang awalnya dia pikir hanya memiliki kemiripan dengan Cakra rupanya memang saudara kembarnya. Ternyata dugaan Dini benar. Mereka saling berkaitan.

Lain halnya dengan Danita. Perempuan itu hanya menatap dengan sorot yang tak terbaca.

"Udah lama, ya." Candra membuka percakapan dengan senyum penuh arti. "Gimana kabar, lo, Cak?"

Cakra tersenyum sinis. Lelaki itu melepas kacamatanya sejenak, lalu mengusap wajah kasar.

"Nggak usah basa-basi. Lo tahu sendiri hubungan kita nggak sebaik itu. Ngomong-ngomong sejak kapan lo kenal adik ipar gue?" Cakra balik bertanya.

Lelaki itu pura-pura kaget. "Loh, jadi calon istri gue adik ipar lo? Gue baru tahu." Kalimat itu memang Candra peruntukan untuk saudara kembarnya. Namun, tatapannya tertuju pada Danita yang tiba-tiba menundukkan kepala.

"Calon istri ...." Cakra melemparkan tatapan tajam pada Melisa, tapi yang bersangkutan hanya menatapnya datar. "Kok, kamu nggak bilang sama kita?" desaknya sembari mengguncang bahu Melisa.

"Hei, tenang, Cak!" Candra menepis tangan Cakra dari bahu perempuan itu.

"Dari kemarin aku udah coba hubungin kalian. Cuma nggak ada jawaban. Lagipula aku baru tahu sekarang kalau kalian udah pulang," tutur Melisa.

Danita yang merasa, hanya diam saja. Dia sadar telah memblokir nomber Melisa di ponsel Cakra, lalu menonaktifkan ponsel miliknya.

"Kamu belum kasih tahu Meli kalau kita udah pulang?" Kini Cakra beralih pada istrinya yang sejak tadi bergeming. "Danita!" bentaknya.

"Nggak apa-apa, Mas. Mungkin Mbak Dani lupa. Lagian kita tinggal satu gedung apartemen. Kalau ada apa-apa juga pasti sama-sama tahu nanti." Melisa menengahi.

"Ya, tetep aja. Kamu tiba-tiba aja mau nikah. Siapa yang nggak kaget, Mel. Setidaknya kamu bisa pikir-pikir dulu. Pernikahan nggak sebercanda itu. Setidaknya kamu harus kenal dulu gimana calon suami kamu dan bibit, bebet, bobotnya," tutur Cakra panjang lebar sembari menyudutkan Melisa.

Candra yang melihat itu langsung menarik bahu saudara kembarnya. "Kata-kata lo masih aja nggak ada saringannya, ya, Cak. Pake bibit, bebet, bobot disebutin segala. Coba ngaca! Muka kita sama, pekerjaan gue juga menjanjikan. Lagian nggak ada lagi waktu berpikir buat Meli. Dia lagi hamil anak gue."

Mendengar itu spontan Danita mengangkat kepala. Pupil mata perempuan itu melebar.

"Apa?" Cakra melotot. Secepat kejapan mata dia meraih kerah kemeja Candra.

"Bang, gue mau pulang." Dini yang sejak tadi terpojok hanya bisa menarik-narik ujung jas David yang masih sibuk menghubungi bantuan.

"Bangs--" Cakra sudah bersiap melayangkan bogemnya, saat David tiba-tiba berhenti di tengah-tengah mereka.

"STOP!" teriaknya. "Beginikah sambutan dua saudara yang udah dua puluh lima tahun nggak ketemu? Please, Bang. Kalian udah sama-sama dewasa. Ini hari ulang tahun Papi. Seharusnya kalian sadar apa tujuan beliau kasih kalian tuxedo yang sama. Akur sebentar aja bisa? Acara ini nggak akan sampe sehari, kok. Habis itu terserah kalian mau baku-hantam atau bunuh-bunuhan sekalian."

Candra dan Cakra terdiam. Akhirnya keduanya saling melerai dan membenahi pakaian masing-masing. Bersamaan dengan itu lift tiba-tiba kembali berjalan. Terdengar suara bagian informasi melalui interkom di pojok kanan atas menyatakan permohonan maaf karena kesalahan teknis di aula mengakibatkan lift tak berfungsi.

"Jadi, lo anak itu?" Cakra menyikut lengan David.

"Ya, gue bocah gendut yang lo jorokin ke empang waktu itu," jawab David dengan penuh penekanan.

***

Tiba di lantai dua. Mereka langsung memisahkan diri dan membentuk koloninya sendiri. Danita dan Cakra memilih mengambil tempat di sisi selatan, sementara David dan Dini ke sisi barat. Sedangkan Candra dan Melisa ke sisi utara. Menghampiri orangtua Candra. Pak Indra dan Bu Nara--Mami David.

Sepanjang perjalanan menuju tempat keramaian, pikirkan Melisa masih saja dihantui dengan kejadian tadi. Kalau saja tak ada David yang menengahi. Lift tersebut akan berubah menjadi arena tarung saudara. Dan mereka terpaksa harus menyaksikan pertumpahan darah di sana. Beruntung tak ada Arka di sana. Kebetulan bocah itu memang dititipkan pada Bu Nina yang jelas tak bersedia menghadiri undangan mantan suaminya.

"Maaf, kamu pasti kaget," ujar Candra di tengah perjalanan. Lelaki itu mengetatkan genggaman tangan mereka.

Melisa menoleh. Perempuan itu tersenyum kecil. "Iya, aku cuma sedikit kaget. Nggak nyangka aja ternyata kalian saudara kembar yang udah terpisah lama."

Candra mengalihkan pandangannya dari Melisa, lalu menatap lurus ke depan dengan senyum getir yang tersungging di bibirnya. "Cakra membenciku, Mel. Kita terpisah karena aku lebih memilih pergi bersama Papa dan Mama David. Dia selalu menyalahkan satu pihak akibat perpisahan orangtua kami. Padahal aku tahu pasti perceraian nggak selalu terjadi karena kesalahan salah satu pihak. Mereka sama-sama egois, sama-sama berasal dari keluarga berada, dan sama-sama nggak bisa mengendalikan amarahnya. Padahal saat itu Papa sudah berlutut agar Mama bersedia menarik gugatan cerainya. Aku tahu, memang nggak ada satu pun wanita yang mau didua. Tapi, mereka juga nggak sadar selalu ada dampak dari setiap perpisahan. Kitalah, anak yang jadi korbannya."

Melisa tertegun. Lekat dia tatap wajah Candra. Ada kesedihan yang berusaha disembunyikan dari sikap tenangnya. Sekarang perempuan itu tahu, salah satu alasan Candra berakhir seperti ini.

"Sudah lama sekali aku ingin bertemu dengannya, tiap acara keluarga, kumpulan di rumah kakek dan nenek, tapi dia sama sekali nggak pernah datang. Dan itu terus berlanjut sampai dua puluh lima tahun lamanya. Padahal kita masih tinggal di negara yang sama. Hanya beda kota, tapi Cakra menghindariku seperti aku ini adalah makhluk aneh dari planet lain. Sad, but true."

Melisa mengulurkan tangan mengusap punggung Candra.

"Mungkin dalam pikirannya dia selalu berpikir bahwa inilah hidup yang kuinginkan. Tanpa mau tahu tentang tekanan apa yang selama ini kurasakan. Aku jarang pulang ke rumah, maupun ke apartemen alasannya juga karena aku masih belum bisa menerima kenyataan. Kenyataan bahwa posisi Mama sudah tergantikan oleh Mamanya David. Sebenarnya aku juga membencinya, cuma cara kita berbeda."

"Mas ...."

"Ah, maaf. Aku bicara terlalu banyak." Candra menghela napas.

Melisa tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Mas. Beban akan terasa lebih ringan bila dibagi, jangan terus-terusan memendamnya sendiri. Sebentar lagi kita akan menikah. Jadi, kita bisa sharing tentang apa pun mulai hari ini."

Candra tersenyum. Inilah alasan kenapa dia begitu yakin mempersunting Melisa.

***

Indra Bagaskara terlihat begitu terkejut sekaligus senang saat melihat putranya yang jarang pulang tiba-tiba datang membawakan kado spesial di hari ulang tahunnya. Seorang calon menantu yang selama ini dia harapkan dari Candra.

Meskipun hubungan mereka memang tak terlalu baik, setelah kepulangan Candra dari Inggris dengan gelar doktornya setahun lalu. Namun, dia selalu berharap putranya menemukan kebahagiaan dan bisa melupakan masa lalu mereka.

Tak peduli dari mana calon istri anaknya berasal. Selama dia memiliki latar belakang yang baik dia bisa menerimanya.

"Selamat malam para tamu undangan yang terhormat. Pertama-tama saya mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kehadiran hadirin sekalian." Pak Indra memulai pidatonya.

Terlihat berderet di bangku paling depan. Mau tak mau Cakra-Danita, David-Dini, dan Melinda-Candra yang semula duduk terpencar, terpaksa ditempat di posisi yang berdampingan dan sejajar.

Ekspresi kesal sama sekali tak bisa Cakra sembunyikan. Lain dengan kedua sauadaranya yang terlihat tenang.

"Sebagai pembuka sekaligus perkenalan. Saya memperkenankan putra saya Candra A. Bagaskara untuk menyampaikan kabar bahagianya pada hadirin sekalian." Pak Indra memberikan kode pada Candra untuk naik ke panggung. Lelaki itu tersenyum pada Melisa sejenak, sebelum beranjak dari tempatnya.

"Tutup mata sama kuping lo, Ndut! Sebentar lagi bakal ada peristiwa yang bikin jiwa para jomblo meronta," celetuk David pada Dini.

"Jadi, Dokter Candra mau lamar Meli di sini? Uh... so suit." Dini terlihat kaget.

"Yoi, lamaran sekaligus pengumuman. Mungkin dia kagak mau si Meli digondol orang. Sttt, dah mau mulai!"

"Melisa Anandia." Candra mulai dengan menyebut nama asli Melisa. "Aku tahu pertemuan kita singkat, dan tak terduga. Meskipun begitu nggak ada sedikit pun keraguan yang tersisa. Maukah kamu menikah denganku?"

Riuh suara tepuk tangan semakin membakar gejolak cemburu di hati Cakra yang semula sudah berkobar. Dia benar-benar tak menyangka inilah jalan yang Melisa tempuh untuk mengakhiri hubungan mereka. Perih, nyeri, dan sesak, menyatu menjadi luapan emosi yang memaksanya untuk segera angkat kaki dari sini. Dia bangkit tanpa aba-aba. Meninggalkan Danita yang terpaku di tempatnya.

Melisa berdiri. Seperti reaksi perempuan yang dilamar pada umumnya. Dia membekap mulut dan merasa terharu. Entah apa yang mendasari hal itu. Melisa pun tak tahu.

Disambutnya uluran tangan Candra yang kemudian mengiringnya menuju panggung. Namun, sebelum sebelum sempat langkahnya mencapai anak tangga. Sebuah kejadian tak terduga terjadi begitu saja.

Plak!

"Dasar pelacur tak tahu diri!"

Semua orang tercengang saat melihat wanita paruh baya tiba-tiba datang menghadang dan melayangkan tamparan di pipi mulus Melisa.

"Saya mengenal wanita ini, Pak Indra. Dia jalang yang sudah menggoda suami saya. Setahun belakangan ini para penghuni apartemen mulai diresahkan dengan kehadirannya. Bapak yakin mau menerima makhluk rendahan sepertinya sebagai menantu Bapak? Wanita murahan ini bahkan membuka jasa room service rahasia. Suami saya jadi salah satu korban pemerasannya."

Melisa meringis merasakan bekas tamparan keras itu. Dia mengingat jelas siapa wanita paruh baya di hadapannya ini. Dia adalah istri salah satu pelanggannya, lelaki paruh baya yang selalu mengeluh tentang kecerewetan istrinya. Semua yang dia katakan jelas fitnah. Melisa tak pernah menggoda siapa pun. Merekalah yang datang dengan sukarela. Dia juga masih punya kewarasan untuk tidak berhubungan dengan lelaki beristri. Yang mereka lakukan hanya sebatas sesi konseling dan makan-makan. Tak lebih.

Akan tetapi rasa sakit tamparan dan fitnah yang dilayangkan seolah tak sebanding saat dia melihat tatapan datar Danita di seberang sana. Sikapnya seolah menunjukkan bahwa mereka tak saling mengenal.

Apa dia malu? Atau memang ada sesuatu? Melinda benar-benar penasaran dengan isi dari pikiran kakak perempuannya itu.

David yang melihat itu langsung berlari untuk membela Melisa. Namun, langkahnya langsung terhenti saat Candra mulai mengambil tindakan dengan menepis tangan si ibu dan menarik Melisa dalam rengkuhannya.

"Kita sudah bersama selama satu tahun. Saya lebih tahu bagaimana calon istri saya dibanding siapa pun. Tolong tutup mulut Anda, sebelum saya memanggil pengacara dan melakukan gugatan pencemaran nama baik," tegas Candra yang membuat suasana yang riuh, menjadi hening seketika.

.

.

.

Bersambung.

Room Service Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang